oleh Hikmat
Darmawan
Redaktur
Rumahfilm.org, Jakarta
Thu, 27 May
2010 05:59:02 GMT
“Jadi, kamu
menyarankan agar kita pasif dalam perang ini?”
“Tidak. Saya menyarankan agar kita aktif lari
dari perang ini!”
— Woody Allen, Love and Death (1975)
Pendidikan
bisa jadi alat untuk mengentaskan kemiskinan. Pendidikan juga bisa jadi
iming-iming untuk meraih kemakmuran. Namun sebagai iming-iming, pendidikan bisa
kebablasan menjadi alat untuk lari dari kenyataan.
“Pendidikan
adalah alat untuk melompat,” kata Syamsul, tokoh dalam Alangkah Lucunya (Negeri
Ini), film terbaru Deddy Mizwar, kepada sekumpulan anak jalanan pencopet
profesional. Syamsul (Syahrul Dahlan) adalah sarjana pendidikan, tapi jadi
pengangguran dan kerjanya tiap hari cuma sibuk main gaple. Ia sudah kehilangan
kepercayaan pada ilmunya, pada apa yang akan ia bicarakan. Tapi teman
sekampungnya, Muluk (Reza Rahardian) yang juga sarjana (manajemen) dan juga
pengangguran, memaksanya meyakinkan para pencopet itu pentingnya pendidikan.
Syamsul tak
meyakini apa yang ia sampaikan. Pertama, ia menyampaikan makna pendidikan
sesuai “buku”, bla-bla-bla tentang makna pendidikan sebagai alat untuk
memuliakan manusia. Wajah bengong para pencopet cilik segera membuat Syamsul
tak nyaman. “Terangkan pakai bahasa yang mereka mengerti,” kata Muluk. Syamsul
–sambil menggerutu bahwa ia merasa dijebak, bahwa ia tak lagi meyakini apa yang
ia omongkan– pun lalu bilang bahwa pendidikan adalah alat untuk melompat.
Melompat untuk
apa? Intinya, melompati kemiskinan dan keterbatasan finansial, menjadi lebih
kaya. Iming-iming. Dengan logika yang menurut Muluk lebih “masuk” ke benak para
pencopet itu, Syamsul dan Muluk menjanjikan jika tanpa pendidikan para pencopet
hanya bisa dapat duit sekian juta per tahun, maka dengan berpendidikan
penghasilan para pencopet bisa jauh lebih banyak dari itu. Apa dengan mencopet
juga? “Kalau orang berpendidikan, bukan mencopet namanya, tapi korupsi!” Nah,
maka para pencopet pun bersemangat ingin jadi koruptor. “Hidup koruptor! Hidup
koruptor!” kata mereka.
Adegan semacam
ini jelas bisa menjerumuskan sebuah film jadi menggurui. Nyatanya, film
Alangkah Lucunya (Negeri Ini) adalah sebuah film verbalistis, seperti juga kecenderungan
film-film Deddy Mizwar lainnya. Tapi Alangkah lahir dari sebuah keprihatinan
mendalam Deddy Mizwar akan korupsi. Kecenderungan Deddy pada verbalisme, ia
salurkan menjadi sebuah film yang berteriak lugas tentang keadaan negeri ini.
Lebih mengejutkan lagi, kejutan yang menyenangkan, Deddy Mizwar tak menawarkan
solusi. Ia tak menggurui ternyata. Ia hanya menyajikan masalah demi masalah,
untuk kita renungi.
Antara Laskar
Pelangi, Jermal, dan film ini
Film ini punya
materi yang sama dengan film terlaris Indonesia sepanjang masa, Laskar Pelangi
karya Riri Riza. Ada anak-anak marginal, ada kemiskinan yang akut, dan ada
percakapan tentang pendidikan. Dan, jangan lupa, ada juga nilai religius Islam
yang diungkapkan secara verbal.
Laskar Pelangi
menyikapi kemiskinan sebagai sesuatu yang bisa diatasi oleh kegigihan
individual. Dalam kisah kegigihan itulah diletakkan keharuan, kegembiraan, dan
petuah. Kegigihan untuk apa? Untuk menyelesaikan sekolah, melanjutkan sekolah
hingga ke luar negeri (“ke Paris!”), sehingga kemiskinan itu pada akhirnya
takluk oleh sukses individual. Memang, ada yang gagal dan ditangisi oleh Laskar
Pelangi (Lintang yang “jenius” –dalam arti jenius matematika– malah tak bisa
melanjutkan sekolah).
Perlukah
ditegaskan bahwa “sukses” dalam Laskar Pelangi, mengacu pada pandangan novelnya
(yang ditulis Andrea Hirata) adalah berarti “kemakmuran pribadi” atau “kekayaan
pribadi”?
Dambaan
kekayaan seperti dalam Laskar Pelangi rupanya memikat banyak orang di negeri
ini. Di tengah maraknya “bisnis motivasi” semenjak Krisis Moneter 1997, film
Laskar Pelangi menyentuh kecenderungan pasar tersebut. Dambaan itu tak hadir
dalam bentuk yang kasar, tapi diberi corak moral keagamaan, dan terbungkus
dalam sebuah pesan tentang pentingnya bersekolah, yang pada gilirannya kemudian
dikemas lagi dalam sebuah cerita yang girang, ajaib, lucu di sana-sini, tentang
kehidupan sekelompok anak-anak miskin di pelosok.
Dengan kata
lain, dambaan akan kekayaan itu dibungkus lagi oleh sebuah cerita eksotik
tentang kemiskinan. Cerita yang eksotik, pesan yang menyenangkan, dan toh
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, seperti tercantum dalam bagian
akhir film itu.
Tapi,
iming-iming sukses demikian bisa sangat melenakan. Lebih dari itu, iming-iming
tersebut jelas mengabaikan sebab struktural dari kemiskinan. Bahwa ada
persoalan-persoalan besar bersifat sistemik dalam kemiskinan akut yang melanda
kebanyakan warga sebuah negara kaya seperti Indonesia. Persoalan seperti
ketimpangan pembangunan, pemusatan modal pada segelintir golongan,
persekongkolan modal dan kekuasaan, korupsi, korupsi, dan, ya, lagi lagi
korupsi….
Korupsi yang
dilakukan begitu sering, oleh begitu banyak orang, sehingga menjadi bagian dari
sistem itu sendiri. Korupsi sistemik, yang menghasilkan kemiskinan yang
sistemik. Tapi, sebelum kita ke sana, kita kembali pada soal iming-iming itu.
Jadi, dalam
Laskar Pelangi, sekolah adalah alat atau jembatan untuk meraih sukses (Mirip
bukan, dengan cara Syamsul menjelaskan manfaat pendidikan dalam Alangkah?).
Pesan ini, terbukti telah mencapai fungsinya: memberi harapan (atau membuai?)
–kemungkinan– sebagian besar dari sekitar empat juta penonton Laskar Pelangi.
Tapi, seusai keriaan “inspiratif” itu, muncul sesuatu yang merupakan antitesa
Laskar Pelangi: film Jermal, karya Ravi Bharwani, Raya Makarim, dan Utawa
Tresno.
Dalam Jermal,
sekolah adalah sesuatu yang musykil, tak masuk akal, tak berguna di dalam
sebuah kemiskinan akut yang menyelimut. Film ini berkisah tentang
manusia-manusia di sebuah jermal —tempat penangkapan ikan yang terletak di
tengah laut, di selat Malaka. Jermal menjadi sebuah isolasi sempurna, dan
karenanya menjadi sebuah dunia tersendiri. Berita-berita yang ada, dan menjadi
ilham bagi film ini, menyebut terjadi perbudakan anak di jermal-jermal itu. Tapi,
dalam dunia dalaman jermal sendiri, apa makna perbudakan?
Jermal
menangkap puisi dalam dunia terasing mutlak itu. Lebih dari itu, ia memasuki
kompleksitas persoalan, menukik jauh ke dalam. Jermal tak lagi membutuhkan
adanya antagonis, sehingga bahkan si centeng jermal, Johar (Didi Petet, dalam
salah satu peran terbaiknya), bukanlah orang jahat. Ia hanyalah seorang yang
melakukan kesalahan, lari, lalu memilih bermukim dalam keasingan laut.
Dalam
keasingan laut itu, waktu seakan berhenti, atau sekadar mengayun perlahan.
Kadang ada hujan badai, kadang ada paus di jauh malam, kadang ada polisi dan
entah apa lagi. Tapi, semua datang dan pergi, sementara yang menetap adalah
rasa terasing yang mutlak itu. Dalam keadaan itulah, datang Jaya (Iqbal S.
Manurung), anak 12 tahun, yang ibunya baru saja meninggal. Jaya dibawa dari
kota untuk menemui Johar yang konon adalah ayahnya. Johar menolak mengakui.
Baginya, Jaya hanyalah tambahan anak dari sebaris anak yang selama ini ia
pekerjakan. Anak-anak yang tak lagi mengenali dunia “normal” yang mewajibkan
mereka, antara lain, bersekolah.
Maka,
begitulah: seragam Jaya compang-camping, buku pelajarannya disobek-sobek jadi
mainan, dan ia harus bekerja keras. Sekolah tak bisa jadi iming-iming, bahkan
ia bukanlah impian manis. Sekolah hanyalah sebuah atribut pada dunia yang telah
ditinggalkan. Jaya harus hidup dalam normalitas baru itu.
Tapi, apakah
Jermal menjadi antipendidikan? Sama sekali tidak.
Setelah
dilucuti dari semua atribut sekolahnya, dari semua normalitas lamanya, Jaya
perlahan muncul menjadi seseorang yang bisa memberikan sesuatu yang mewah bagi
anak-anak lain: ilmu. Dalam hal Jaya di jermal itu: ilmu membaca dan menulis.
Begitulah: sebagian besar anak-anak itu mengantre, minta dituliskan surat atau
apapun, oleh Jaya. Termasuk seorang anak yang berbakat mengarang (membual)
cerita fantastis, dan seorang anak yang berbakat menyair. Anak-anak itu tak
bisa menulis, tapi tak pernah kehilangan bahasa. Sekolah adalah sesuatu yang
mustahil di jermal, tapi ilmu tidak.
Dengan
demikian, dari sudut pesan tentang pendidikan dan kemiskinan, Jermal mencapai
pemaknaan yang lebih hakiki tentang pendidikan daripada Laskar Pelangi. Semakin
terasa kontras lagi jika kita membandingkannya dengan sekuel Laskar Pelangi,
yakni Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009). Dalam film kedua dari rencana trilogi
Laskar Pelangi, sekolah berkembang menjadi sebuah atribut sosial yang
didambakan, sambil semakin kehilangan konteks. “Sorbonne”, perguruan tinggi
terkemuka di Paris, yang disebut berulang-ulang, terasa sekadar menjadi semacam
merk idaman seperti “Louis Vitton” atau “Versace”.
Persoalan
terbesar Jermal adalah: gagasan dan pendekatan sinematiknya, rupanya tak bisa
diterima sebagian besar penonton kita sekarang. Termasuk pula para kritikus
film kita. Film ini ditonton hanya sedikit orang, dan sama sekali tak
dibesarkan oleh media.
Dan kali ini,
tema pendidikan dan anak miskin hadir dalam Alangkah dengan pendekatan
sinematik yang lebih popular ala Deddy Mizwar.
Sejak awal,
Alangkah menyodorkan masalah pendidikan dengan kompleksitas yang diungkap
secara lugas. Mulai dari perdebatan dua orang tua, Makbul (Deddy Mizwar) dan
Haji Sarbini (Jaja Miharja) tentang apakah pendidikan itu penting (menurut Makbul)
atau tak penting (Haji Sarbini); lalu upaya Haji Rahmat (Slamet Raharjo) sang
imam mushalla menengahi debat itu; hingga pilihan anak-anak mereka –Muluk,
Pipit (Tika Bravani), dan Syamsul– untuk mendidik anak jalanan yang tergabung
dalam geng copet pimpinan Jarot (Tio Pakusadewo).
Lebih dari
itu, Alangkah menempatkan tema pendidikan itu sebagai salah satu sisi dari
masalah. Masalah kemiskinan menjadi perhatian utama: bagaimana kita mengatasi
kemiskinan? Jawaban Alangkah, dengan naskah dari Musfar Yasin, sudah jauh
melampaui penyederhanaan masalah dalam Laskar Pelangi, bahwa kemiskinan dapat
diatasi dengan sukses pribadi melalui sekolah. (Bukankah terbukti, dalam Laskar
Pelangi, Lintang yang pintar pun tetap miskin ketika ia tak bisa melanjutkan
sekolah?)
Jawaban
Alangkah terhadap masalah kemiskinan adalah sebuah pertanyaan: bagaimana jika
ada masalah lain yang lebih dalam?
Halal Haram
yang Dewasa
Sebetulnya,
Alangkah menjawab pertanyaan tadi secara lugas pula. Ya, memang ada masalah
yang lebih dalam. Tapi, sebelum itu, mari kita sentuh sisi lain masalah yang
disajikan dalam Alangkah yang juga menarik dan boleh jadi penting. Masalah
peliknya menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam situasi nyata.
Representasi
masalah ini sangatlah langsung: masalah halal dan haram. Artinya, ini masalah
khas mayoritas warga beragama Islam di negeri ini. Deddy dan Musfar melakukan
pendekatan yang berani, tapi juga alamiah jika melihat karya-karya mereka
selama ini, dalam mengangkat persoalan ini: bukannya menghaluskan, bukannya
mengidealkan, dan jelas tak ingin menghindar, mereka malah menggamblangkan
persoalan ini, sambil tak menutup mata pada kompleksitas kenyataan yang ada.
Mereka
menempatkan persoalan halal-haram ini tidak di ruang kosong, tapi dalam sebuah
konteks.
Sebelum itu,
bagi yang masih meragukan bahwa persoalan halal-haram –yang sudah lama sering
diledek (“cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal”)– adalah absah,
kita timbang dulu beberapa hal. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam. Persoalan halal dan haram adalah sesuatu yang lekat dalam agama
ini, seperti juga masalah kosher bagi umat Yahudi. Walau kenyataannya belum
tentu seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan asas halal-haram itu dengan
taat, bukan berarti persoalan ini remeh belaka.
Kedua, seiring
kemajuan teknologi informasi belakangan ini, masalah halal-haram bagi semakin
banyak orang Islam tumbuh menjadi sebuah persoalan gaya hidup yang genting.
Misalnya, tumbuhnya industri halal yang semakin menarik perhatian dunia. Baca
misalnya laporan majalah Time, 25 Mei 2009, tentang globalisasi “industri
halal”. Dan persoalan halal-haram ini jelas tak sebatas apakah makanan
mengandung babi atau minuman mengandung khamr yang memabukkan. Tapi mencakup
pula masalah “kebersihan” penghasilan, lembaga keuangan, dan pola konsumsi.
Itulah
mengapa, pasti ada sebuah gerit yang mengilukan hati penonton Muslim yang
menganggap serius soal ini, ketika menyaksikan dalam Alangkah Muluk menyetor
uang hasil copet anak-anak yang ia kelola ke Bank Muamalat. Dan itulah mengapa,
di samping pertimbangan product placement, film ini seperti menekan-nekankan
adegan ketiga para ayah memakan sosis bawaan Muluk sebagai hasil dari mengelola
uang copet itu (tanpa sepengetahuan para haji ayah mereka).
Bukannya Muluk
lugu. Ia hanya mengambil kesimpulan yang ia anggap baik, ketika di awal film
Haji Rahmat memberi fatwa tak mengapa beternak cacing, sampai tiba pekerjaan
yang lebih halal. Kerangka pikir Muluk jelas: sampai tiba pekerjaan yang lebih
baik, tak apa ia melakukan pekerjaan “kotor” –apalagi, toh ia mengupayakan
perbaikan agar anak-anak jalanan itu beralih dari pekerjaan haram mereka menuju
pekerjaan halal, mengasong.
Lalu Muluk pun
mengajak Syamsul, sarjana pendidikan yang setiap hari hanya main gaple di pos kamling
gang kampungnya, dan Pipit, anak Haji Rahmat. Syamsul diminta mengajar
pelajaran umum, terutama membaca dan menulis. Pipit, yang sebelumnya hanya
sibuk berharap dapat undian atau hadiah kuis, mengajar pendidikan agama.
Perlahan, ketiga anak muda ini pun menemui makna atas hidup mereka.
Makna yang
ternyata harus berbentur pada nilai-nilai para ayah. Di sepertiga akhir, film
yang nyaris menuju utopia ini (peresmian enam perangkat asongan) berbelok
tiba-tiba. Ketiga orang tua itu datang ke tempat anak-anak mereka bekerja di
bidang “Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Jebulnya, itu tempat copet –mereka
baru tahu itu (gestur Jaja Miharja ketika karakternya baru sadar itu tempat
copet sungguh piawai, begitu alamiah).
Tadinya,
mereka terbawa suasana. Mereka sudah siap mengangkat tangan, berdoa bagi para
anak copet itu. Sampai tiba-tiba mereka melihat sosok Jarot yang picek, dalam
gelap. Sosok gelap dari dunia gelap. Mereka pun tersadar, selama ini mereka dan
anak-anak mereka memakan rezeki haram.
(Perlu dicatat:
Tio Pakusadewo sebagai Jarot si bos copet dengan istri berjilbab di film ini
bermain sungguh luar biasa. Ia betul-betul masuk ke karakter, sampai-sampai
–kata Deddy Mizwar kepada Rumahfilm.org– ketika adegan Jarot mengamuk, marah
pada keadaan yang menyebabkan Muluk tak lagi membantu para copet, Tio harus
dihentikan karena ia mengamuk sungguhan bak preman dan bisa menyakiti anak-anak
itu.)
Wajarkah
kesedihan Makbul dan Rahmat? Wajar dan logis. Di titik ini, saya sangat
menyukai pilihan untuk mewakilkan argumen di seberang para Ayah itu pada Pipit,
seorang perempuan. Pipit memberi perspektif lain: ia, Muluk, dan Syamsul tidak
salah. Mereka memperbaiki keadaan, dan mau berkotor-kotor untuk itu. Dan, jika
itu tak memenuhi standar “kebersihan” ayahnya yang kyai, itu tanggung jawab
Pipit yang sudah dewasa.
Dan kemudian,
Syamsul berteriak di gang itu. Ketika melihat gelagat Muluk dan Pipit ingin
menghormati keinginan ayah mereka, Syamsul berteriak putus asa, “apa lu mau
lihat gue jadi bangke lagi?!” Akting Asrul di sini sungguh berhasil.
Di sini, kita
merasakan, ada sesuatu yang menerkam: ada sesuatu yang lebih besar, yang
menyebabkan bahkan perhitungan benar dan salah, halal dan haram, menjadi
musykil. Bagi yang meyakini, tentu saja pandangan para ayah itu benar. Tapi,
kita bisa melihat, pandangan para anak itu pun tak keliru. Menjaga kemurnian
tak salah, beraksi dengan mau kotor pun tak salah. Lalu, kenapa mereka jadi
serba salah?
Ada sesuatu di
luar pilihan-pilihan individual mereka yang lebih menentukan.
Film dengan
“Gambaran Besar”
Maka jelaslah,
Alangkah lebih tertarik memasalahkan sebuah gambaran besar. Ia bicara tentang
bangsa, tentang sebuah negara yang sedang menyakiti warganya. Betapa getir
hidup di sebuah negara, ketika korupsi jadi harapan, bukan?
Karena
kesadaran ingin mencipta dengan sebuah gambaran besar itulah, film ini terasa
riuh rendah dengan sketsa lugas kehidupan kiwari bangsa ini. Ada caleg yang
serbagombal. Ada dukun-dukun yang memberi janji-janji kemakmuran serbaklenik.
Ada televisi yang menyajikan angan-angan. Ada polisi yang menerima suap. Ada
Satpol PP yang tak mau pusing, dan memutuskan memenjara orang agar mereka tak
pusing lagi. Tapi, ada juga orang-orang yang ingin keluar dari kubangan gelap
itu.
“Ini negara
bebas…. Yang mau nyopet, nyopet! Yang mau ngasong, ngasong!”
Latar dunia
gelap itu, geng para pencopet itu, tampil begitu hidup, sehidup kekumuhan
Jakarta yang berulangkali didatangi kamera film ini. Untuk soal itu, Deddy
Mizwar memuji setinggi langit Aria Kusumadewa (sutradara Beth) ketika
mengomentari gambaran daerah kumuh dan anak jalanan yang realistis dalam film
ini, di samping memuji Musfar Yasin sang penulis skenario yang bertahun-tahun
hidup dengan anak jalanan dan para copet betulan. “Wah, itu Aria ahlinya deh.
Saya Alhamdulillah ketika dia bilang mau bantuin di film ini….” Kata Deddy
kepada Rumahfilm.org.
Aria juga
membantu Deddy mencari anak jalanan sungguhan untuk casting Alangkah. “Kalau
lagi bikin film, bagian yang paling membuat saya nggak bisa tidur adalah waktu
pencarian casting,” kata Deddy. Ini mencerminkan gagasan sinematik Deddy, yang
mementingkan karakterisasi tokoh serta seniperan ketimbang kepiawaian
fotografis (atau “estetika gambar”). Ia menceritakan si pemeran Glenn yang
memang sangat “seram” waktu pertama jumpa – dan tak kenal sama sekali pada
Deddy Mizwar. “Kalau kamu lihat tadi, ada adegan mandi si Glenn itu gemetar
kedinginan, memang dia gemetar betulan, biasanya kagak pernah mandi,” kata
Deddy tertawa.
Realisme itu
menjadi sebuah pengimbang dari naskah yang bersifat parodi, serba
mengarikaturkan. Kelemahan terbesar naskah ini adalah keluguan Muluk, bahwa
“kalau lu nyari duit dengan halal, maka nggak ada alasan mereka menangkap lu.”
Tapi, jelas, di sini Deddy dan Musfar sedang menerapkan semacam litentia
poetica – ketika pakem ataupun keharusan bisa dibengkokkan demi sampainya
maksud cerita.
“Mungkin saya
sudah tua, ya. Buat orang seusia saya, masalah cinta-cintaan antara lawan jenis
itu sudah nggak penting lagi,” kata Deddy Mizwar ketika Rumahfilm.org bertanya
kenapa dalam film-filmnya nyaris selalu ada lagu kebangsaan. “Buat saya,
sekarang, yang penting adalah kecintaan pada bangsa ini,” lanjut Deddy. Klise?
Khutbah? Tapi, jika dijajarkan dengan para sineas kita yang lain, yang kini
aktif, bisa jadi mengucap klise demikian adalah keberanian tersendiri. Memang,
bukankah sedikit sekali sineas kita sesudah era Reformasi yang secara konsisten
bicara tentang korupsi dan bangsa?
Dan dengan
berani film ini ditutup oleh pertanyaan. Dengan berani, akhir film bukanlah
kesimpulan yang menyenangkan atau membuai. Dengan berani film ini tidak
berhenti pada harapan kosong.
Dalam ending
film yang boleh jadi salah satu yang terbaik dalam sejarah film nasional
–setidaknya sesudah reformasi ini– film ini seolah “berteriak”. Ending itu
melibatkan 400 orang pemain, dikoreografi dalam rangkaian adegan yang
bersambungan antara serangkai adegan yang diiringi lagu Balada Sejuta Wajah
(Achmad Albar & Ian Antono), disambung rangkaian adegan yang diiringi lagu
Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Banyak yang terjadi di situ.
Harapan-harapan
terbanting. Orang baik tak selamanya mendapat ganjaran baik. Agama belum
terlihat mampu memberi jawaban jitu. Amanat Undang-Undang Dasar belum
terlaksana. Dan justru dengan menyajikan kenyataan-kenyataan getir itu, film
ini tak melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak pasif, tidak pula “aktif lari”
seperti ungkapan Woody Allen di atas. Ia mencari jalan lain: ia aktif bertanya,
dan aktif menjebloskan kita pada pertanyaan-pertanyaan itu.
Film ini
bertanya, berteriak, mengkritik, tanpa bungkus pikiran-pikiran njelimet atau
fashionable, dan justru karena itu film ini mengajukan sikap: ia tak mau
meninggalkan Indonesia.
*Diunduh dari
http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_alni_1.htm