Sabtu, 29 Oktober 2011

Belajar dari 3 idiots*

Oleh : Ahmad Doer**

 Film Bollywood dengan judul 3 Idiots yang disutradarai oleh Rajkumar Hirani ini bercerita tentang kisah 3 mahasiswa yang berkawan bernama Rancho (Aamir Khan), Raju (Sharman Joshi), dan Farhan (R. Madhavan), sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi, Imperial College of Engineering (ICE) terkemuka di India. Film ini berkisah tentang 3 mahasiswa melakukan “permberontakan” terhadap perguruan tinggi ICE. Memberontak sistem pendidikan yang baku  dengan tingkah-tingkah konyolnya (komedi).
Sebagi salah satu perguruan tinggi terkemuka di India, perguruan tinggi ICE membebani para mahasiswa dengan target lulus-kerja-sukses tanpa melihat sisi psikologis dan kecerdasan emosional yang menjadi potensi dalam diri mahasiswa. Di kampus tersebut, kompetisi antar mahasiswa merupakan hal yang wajar dan lumrah. Layaknya teori darwin siapa yang kuat dialah yang menang. Rektor ICE, Viru Sahastrabudhhe (Boman Irani), di kalangan mahasiswa dikenal dengan Prof. Virus, “Hidup adalah perlombaan, Jika kau tidak cepat, kau akan menjadi telur pecah burung Cuckoo!” katanya. Prinsip kompetisi dan bersaing ditanamkan sedemikian rupa sehingga mahasiswa banyak mengejar nilai dan gelar tanpa melihat subtansi dari pendidikan sendiri sebagai proses memanusiakan manusia.
Akibatnya, banyak mahasiswa stres, bahkan mengalami depresi berat. ”Ini adalah universitas, bukan panci bertekanan. Para mahasiswa ini punya hati, Pak. Bukan mesin yang bisa terus menahan tekanan di sini,” kata Rancho tatkala seorang kakak kelasnya gantung diri lantaran terancam drop-out, setelah hasil praktikumnya ditolak. Dan menurut Rancho, itu sama saja dengan pembunuhan.
3 Idiots adalah sebuah film yang mengkritik sistem pendidikan yang terlampau mengagungkan target, nilai, dan kelulusan, sekaligus potret kondisi pendidikan India dewasa ini yang lebih mendewakan pertumbuhan teknologi, informatika dan ekonomi. Konon, negeri itu menempati peringkat pertama dalam kasus bunuh diri para terdidik. Sungguh ironis, emangnya!.
Maka, Rancho pun memilih “memberontak” dengan caranya sendiri dan memprovokasi teman-temannya, terutama kedua sahabatnya, Farhan dan Raju. Bagi dia, sistem pendidikan di ICE tak memungkinkan mahasiswa untuk membicarakan sesuatu yang terkait dengan terobosan dan kreatifitas baru. Lembaga pendidikan tak bedanya dengan penjara, sebab, dosen hanya mengajarkan apa yang ada di buku, hukum dan aturan yang kaku. Padahal, ilmu pengetahuan seharusnya dipahami untuk merubah kehidupan bukan untuk dihafal. Sebagimana Marx mengatakan ilmu pengtahuan bukan untuk dipahami tapi bagaimana mengubahnya.
Dia tak sudi menjadi robot atau bank  yang hanya menjadi tempat menyimpan dan menjadi obyek pengajar tanpa mempu menggerakan dirinya, tanpa mampu menjalin kerja sama dengan yang lain : ”Hanya omong besar, nilai, atau paling banter bekerja di Amerika. Kami bahkan tidak memperoleh pengetahuan di sini, Pak. Kami hanya diajari bagaimana mendapatkan nilai bagus.” Kepada teman-temannya, dia juga sering mengatakan bahwa ilmu bisa diraih di mana pun, tak hanya di bangku sekolah. Kalau sekolah kita hanya butuh seragam, maka beli seragam dan kau masuk sekolah. Ia menambahkan pada mm (nama panggilan salah seoarang yang berkerja membantu mahasiswa).

*****
KENDATI bicara soal India dengan gaya satirnya yang khas, toh sebetulnya kondisi sosial yang diangkat film itu tak berbeda jauh dari kondisi kita. Banyaknya orang tua di sana yang menginginkan anaknya jadi insinyur dan dokter, misalnya, notabene mengingatkan kita pada cita-cita keramat yang ditanamkan kepada anak-anak Indonesia.
Jelas ini sebuah problem negara dunia ketiga. Tatkala rasa minder sebagai bangsa tertinggal dalam pencapaian teknologi membuat kita mengekor sikap pragmatisme Barat secara membabi-buta, selain tentunya masalah taraf kesejahteraan yang menghantui mayoritas masyarakat. Akibatnya, eksistensi manusia pun kerap diukur dari kematerian (to have) dan apa yang berhasil dilakukan (to do) daripada nilai kepribadian (to be atau being-nya). Hidup berada dalam kalkulasi statistik dan bidang eksak pun dipandang sebagai kunci kesuksesan lantaran lebih luas menyediakan lapangan kerja. Sementara itu, humanisme dan estetika terabaikan.
”Kami semua kuliah hanya untuk dapat ijazah. Tanpa ijazah, kami tak bisa bekerja! Tanpa bekerja, tak seorang ayah pun mau menikahkan anaknya! Bank tak akan memberikan kredit, dunia tak akan memandang kami. Tapi, si idiot satu itu, dia ke kampus bukan untuk ijazah, tapi untuk belajar!” tukas Raju yang bertindak sebagai narator dalam film ini.
Pada akhirnya, berkat nasihat-nasihat Rancho, Farhan dan Raju akhirnya mendapatkan pekerjaan. Juga, berani menghadapi ayahnya yang sejak dia lahir sudah menginginkan anaknya menjadi seorang master of engineer. Padahal, dia lebih menyukai satwa liar dan fotografi. ”Jika aku nanti menjadi fotografer, kemudian gajiku sedikit, rumahku kecil, mobilku kecil. Namun, aku akan bahagia, Ayah!”
Tentu 3 Idiots tak sekadar mengingatkan kita bahwa kurikulum yang membelenggu hanya akan mencetak manusia robot, tapi juga bagaimana ilmu pengetahuan adalah berkah yang harus dinikmati. Atau, kita bakal seperti Chathur, sosok pengikut teladan yang di akhir kisah harus membuka celana dan menunggingkan pantat ala ospek ICE seraya berseru, ”Oh Paduka Raja, Anda sungguh hebat. Terimalah persembahan hamba!” sebagai tanda kekalahannya dalam taruhan. Sebab, sepuluh tahun kemudian, ternyata Rancho, anak tukang kebun yang kuliah atas nama anak majikannya itu, telah menjadi penemu terkenal (dalam nama baru) dengan 400 hak paten dan dikejar-kejar dunia.
Pesan yang ingin disampaikan dalam film ini oleh sutradara ”Jangan belajar untuk menjadi sukses, tapi untuk membesarkan jiwa. Jadilah orang besar, kesuksesan akan mengikutimu.” Atau, ”Jadilah apa pun menurut hatimu!” kata Rancho. ”Karena aku mencintai mesin, mekanika adalah jiwaku. Tahukah kau, apa jiwamu?” tanyanya kepada Farhan dan juga pada kita sebagai bangsa yang akan mengejar ketertinggalan dalam dunia pendidikan.

*Disampaikan dalam acara bedah film yang diselenggarakan oleh Imbas (Ikatan Mahasiswa Barat Sungai), Minggu, 30 Oktober 2011
** Koordinator Mata Baca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar