Minggu, 22 Januari 2012

Mimpi Piala Dunia



Oleh : Abdurrahman*

Menonton pertandingan antara Indonesia dan Qatar (12/10/2011) ada sebuah harapan dari seluruh bangsa Indonesia, mudah-mudahan Timnas Garuda akan memenangkan pertandingan dan lolos ke Piala Dunia 2014 di Brazil. Kemenangan akan punya makna lain bagi Timnas dan seluruh bangsa, harapan untuk lolos ke Piala Dunia masih terbuka. Walaupun dua pertandingan sebelumnya, ia kalah dari Bahrain dan Iran yang beda kelas dan kualitas.
Harapan akan sebuah kemenangan dari Timnas Indonesia sangat ditunggu-tunggu oleh jutaan mata yang menontonnya. Kemenangan akan membawa rasa Nasionalisme yang besar bagi rakyat Indonesia. Hal ini nampak  jelas  dari membeludaknya penonton di stadion Bung Karno waktu pegelaran piala Asean Football Federation (AFF) 2010 kemarin. Sampai-sampai ada yang mengadakan nonton bareng di cafĂ©, hotel, hingga ke tempat yang sempit pun, rumah. Kaos dan berbagai atribut merah putih (timnas) banyak diburu oleh para seporter.
Walaupun di ujung pertandingan, putaran final, team Garuda kalah dari negeri tetangga Malaysia. Hal itu tidak mengurangi  rasa bangga rakyat untuk mendukung team Garuda yang sedang berlaga setelah piala AFF usai.
Dari sepak bola banyak hal yang dapat diambil pelajaran bagi bangsa ini. Pertama, rasa patriotisme, nilai kepahlawanan, semangat untuk pantang menyerah dan berkorban dalam setuasi apapun. Ketertinggalan atau kakalahan bukan membuat kita sebagai bangsa menyerah begitu saja tanpa adanya perlawanan yang berarti. Kejarlah ketertinggalan dengan perjuangan dan pengorbanan terus menerus—tanpa lelah-- sampai bisa menyamakan skor dan memenangkannya pertandingan (baca : Sepak bola). Urusan kalah belakangan, yang penting sudah berusaha sekuat tenaga.
Kedua, nasionalisme, rasa bangga akan indentitas sebagai bangsa yang tersimbolisasikan melalui kaos dan atribut merah putih, dan petikan lagu kebangsaan Indonesia raya di setiap pertandingan. Di tengah persoalan bangsa yang begitu akud, korupsi terjadi di segala lini, kekerasan atas nama golongan (ras, suku, agama dan etnis), sepak bola mempu me-lupa-kan sejenak persolan itu, seolah-olah tidak ada persoalan di republic Indonesia. Yang ada adalah teriakan seporter yang selalu mendukung, “garuda di dadaku, garuda kebanggaanku, ku yakin hari ini pasti menang” (lagu Netral)
Ketiga, persatuan, keinginan dan kehendak untuk bersatu mendukung team Garuda yang sedang berlaga. Perkelahian antar seporter di masing-masing klub yang selama ini menjadi berita biasa dalam persepak bolaan Indonesia, melebur dan sama-sama bersatu mendukungnya. Potret persatuan dari sepok bola mampu menghilangkan fanatisme, chauvanisme antar seporter dan bahwa team garuda bukan milik satu golongan melainkan milik seluruh bangsa Indonesia. Hal ini nampak jelas dari adigium pilar kebangsaan yaitu, Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu. Perbedaan bukan untuk diperdebatkan atau dipertengtangkan, namun perbedaan merupakan jalan untuk bersatu dan menemukan tujuan bersama, yaitu timnas Indonesia.
Keempat, disiplin yang kuat bagi para pemain baik dalam latihan maupun pertandingan. Kedisiplinan dalam team akan menjadi kekuatan secara individu dan kolektif. Tidak adanya  kedisiplinan yang kuat akan membuat team tidak terorganisir dengan baik yang menyebakan kekalahan. Kedisiplinan sama halnya dengan keteraturan atau mengikuti aturan yang ada. Aturan harus ditegakkan.
Namun kekalahan demi kekalahan dialami team Garuda. Dan terakhir kalah dari timnas Qatar di stadion Bung Karno dengan skor tipis. Harapan akan bisa tampil di Piala Dunia 2014 telah pupus, walaupun masih ada kemungkinan untuk bisa lolos sangat berat atau bahkan tidak ada sama sekali. Mimpi tampil di Piala Dunia hanyalah halusinasi, kekalahan dari Qatar mengakhiri segalanya.
Kita sebagai bangsa Indonesia harus berbenah diri untuk bisa tampil di Piala Dunia. Berbenah dari hilir dan hulu. Dari bibit muda sebagai pemain masa depan dan kompetisi liga Indonesia sebagai ukuran pembinaan.
Belajar dari sejarah akan sepak bola, bahwa team Garuda dijuluki macan Asia dengan menahan imbang Uni Sovyet saat itu. Pemain muda U-13 juga ikut mengharumkan nama bangsa dengan mendapatkan pemain terbaik dan top score dunia. Secara kualitas dan kualitas sebenarnya sama dengan pusat persepak bolaan di Eropa, namun yang membedakan adalah kompetisi dikelola secara professional dari tingkatan anak-anak sampai dewasa. Sehingga penyaluran bakat tersalurkan dengan baik.
Setelah kita mau belajar dan berbenah, mimpi ke piala Dunia akan terrealisasikan menjadi kenyataan. Benahi kompetisi Indonesia, taklukan Asia Tenggara, kuasai Asia, baru team garuda boleh bermimpi akan Piala Dunia. Bukankah begitu?

* Alumni Pondok Pesantren Wali Songo, Kwanyar Bangkalan dan Koordinator Mata Baca
**Asli : Jl. KH. Ma’ruf No. 89 Kwanyar Bangkalan Madura.


Jumat, 04 November 2011

Menemukan Matabaca Kita


Berangkat dari Catatan ini, aku menuliskan kegelisan dan pengalamanku selama ini untuk di bagikan ke sesama warga Matabaca yang aku hormati. Karena dengan berbagi, maka kita bisa menikmati, merasakan dan memikirkannya secara bersama-sama. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah apa yang dinikmati, dirasakan dan dipikirakan kita perjuangkan dalam kehdiupan yang nyata untuk menemukan dalam “sinetron” Matabaca kita.
Banyak hal yang belum cukup jelas di dalamnya. Maka tidak ada salahnya kalau kita mereview perjalan sejarah serta lika-liku dan pergulatan membangun sebuah komunitas atau organisasi. Apa yang menjadi kendala, tantangan dan keberhasilan selama ini? Dan apa saja yang harus kita lakukan dan persiapakan kedepan melihat tantangan zaman semakin mempenjara semangat dan pikiran ke depan? Hal ini penting dilakukan dan dijawab agar ada pembacaan yang utuh. Dan dari semua itulah,  supaya ada akumulasi pengetahuan dari perjalanan sejarah yang berimbas ke masa yang akan datang.
Matabaca adalah hasil kegelisan dan keprihatinan terhadap kondisi bangsa untuk segera bangkit dari tidurnya. Salah satunya melalui membudayakan membaca. Terutama di tingkatan bangkalan-Madura, yang begitu minimnya fasilitas dan sarana yang memadai untuk membudayakan dan menyadarkan baca di masyarakat.   
Melalui dialog dan diskusi yang panjang akhirnya, kita dapat mewujukan komunitas Sadar Baca yang diberi nama dengan Matabaca di akhir bulan Maret.  Namun ia dihadapkan dengan dilema dan tangtangan, ditengah minimnya fasilitas dan materi yang ada, kita hanya punya semangat yang membara dalam jiwa bahwa kita bisa bangkit. Dilema yang dihadapi adalah perbedaan karakter setiap individu pengurus serta perbedaan apa yang ingin dibaca oleh warga yang begitu beragam, dirajut untuk menemukan dan mewujudkan ke-Matabacaan yang harus kita bangun.
Sebagai komunitas yang baru, Matabaca adalah bayi yang baru bisa merangkak, ia butuh uluran tangan untuk bisa berjalan. Matabaca adalah lukisan kosong yang membutuhkan image dan pikiran untuk melukis wajah dan mengoreskan kanvas dari sudut awal kesudut lainya. Ia adalah bentuk tanpa rupa dan rupanya adalah kita yang ada dalam tubuhnya. Maka kita butuh konsensus pikiran, kesadaran serta tindakan yang menyatu dalam ruang untuk duduk mewujudkan wajah yang tidak tampak dan merumuskan atau menemukan “Matabaca kita”.
Namun dalam perjalanan waktu yang sebenarnya membuat kita semakin dewasa dalam kebersamaan Matabaca, dirusak—dinodai sedikit dami sedikit oleh ego diri dan ego modernitas (pragmatisme dll), yang telah merusak kesepaktan bersama. Pada dampaknya  terlindas dalam ruang kehampaan. Sebuah struktur yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong, tanpa jiwa atau semangat.
Silaturrahmi, silatulfikri dan silatulqalbi yang dirindukan bergerak dalam ruang wacana tanpa peduli pada realitas sesungkuhnya. Perjuang dan pengorbanan yang tulus demi Matabaca untuk warga dan non-warga yang dapat mengeluarkan Matabaca dari kerusakan. Dari kebersamaan untuk mengabdi yang dilatar belakangi dengan berbagai kemampuan yang bisa disumbangkan untuk mehadirkan Matabaca rahmatal lil Madura wa alamin.           
**********
Matabacaku bukan hanya milikku, ia juga milikmu dan Matabacamu juga. Matabaca kita pelan-pelan kita bangun dengan kesabaran yang penuh dengan impian-impian dan cita-cita dari aspirasi kultur dan variasi yang membuat kita kaya. Bagaikan taman disurga dalam mimpi di alam ide.
Kita boleh bermimpi akan pengalaman spritual ke masa depan, karena lewat media itu kita bisa mewujudakan dengan satu langkah pasti membentuk Matabaca.
Yang kita rindukan dan hendak diwujudkan adalah “Jiwa” ke-Matabacaan untuk memberikan warna dalam makna kehidupan yang lebih riel dalam pengertian adil dan beradab bagi semua kalangan.
Matabaca kita merupakan hasil sebuah perjuangan dengan kesabaran, hasil pengabdian yang tulus, hasil imajinasi tentang masa depan dalam pemahaman bersama yang utuh dan tuntas. Kesadaran suka rela untuk saling menerima perbedaan posisi dan peran demi memperkuat atau memperkayaan khazanah memanusiakan manusia.


" Jangan nodai Matabacaku karena ia juga Matabacamu.
Matabacaku ini, aku tahu, Matabaca kita semua".

Kamis, 03 November 2011

Kerendahan Hati



Menyimak kisah seorang sufi, Abu Yazid al-Bustami, seperti dikisahkan Faridudin Attar menuturkan sebagai berikut : suatu hari Abu Yazid menyusuri sebuah jalan dari rumahnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul seekor anjing yang berlari kencang ke arahnya. Anjing Sudah semakin dekat dengan cepat ia mengangkat jubahnya takut tersentuh oleh anjing dan najislah karenanya.

Melihat sikap sang sufi, si anjing berhenti. Karena kebersihan hatinya, Abu Yazid bisa mendengar apa yang dikatakan oleh si anjing : "tuan, seandainya tubuhku basah, engkau cukup membersihkannya denga air dan tanah tujuh kali. Selesailah urusan diantara kita. Jika tubuhku kering, maka tidak ada masalah meski kita bersenggolan. Namun jika tuan mengangkat baju karena merasa suci dan mulia, itu tidak akan membuat bersih meski tuan membersihkannya dengan air tujuh samudra".

Kata-kata si anjing membuat Abu Yazid seperti tertampar dan berdosa. Untuk menebus kesalahannya, ia berkata : " Engkau benar wahai mahluk Allah. Kamu memang kotor secara lahiriyah tapi aku kotor secara bataniyah. Agar kita berdua sama-sama bersih, bagaimana kalau kita berjalan bersama-sama?".

Si anjing menjawab " tuan tidak pantas menjadi patnerku dan berjalan bersama-sama denganku. Karena semua orang menolak kehadiranku, dan menyambut hangat kehadiran tuan. Orang-orang akan menyambutku dengan melempar batu, dan menyambut tuan sebagai raja yang mulia. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulangpun, sementara tuan memiliki sekarung gandum untuk makanan besok."

Anjing itupun pergi meninggalkan Abu Yazid yang sedang menangis "jika aku tidak pantas berjalan dan bersahabat dengan se ekor anjing, bagaimana aku dapat berjalan bersamaMU yang Abadi dan Kekal ya Allah".

Di lain waktu ketika sedang berjalan bersama para muridnya, Abu Yazid kembali bertemu seekor anjing yang lain. Si Anjing berjalan cepat menuju kearahnya. Segera ia minggir dan memerintahkan pada murid-muridnya untuk memberi jalan pada anjing agar bisa lewat.

Setelah si anjing lewat dan jauh, seorang muridnya protes "Tuhan memuliyakan manusia di atas semua mahlukNya. Tuan sendiri adalah raja para sufi yang sangat dimulyakan dan bermartabat. Bagaimana mungkin tuan bersikap seperti itu terhadap seekor anjing yang najis?".

Dengan sabar dan bijak Abu Yazid menjawab "Muridku, belum lama ini seekor anjing berkata padaku, apakah dosaku dan apa pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan tuan berpakaian kulit manusia?" Kata-kata itu lah yang terlintas dalam pikiranku tadi, sehingga aku memberi jalan pada anjing itu untuk lewat."

Kisah Abu Yazid al-Bustomi dan seekor anjing di atas menyadarkan kita bahwa jarak dan sekat  yang kita buat dalam berhubungan dengan kelompok lain muncul karena kita terlalu melihat dari gambaran luarnya dari sudut pandang formalisme dan simbol-simbol fisik verbal semata. Merasa diri paling benar dan suci adalah cermin bahwa hati ini tidak bersih, tidak ihlas dalam menjalani kehidupan.

Senin, 31 Oktober 2011

Alangkah Lucunya (Negeri Ini): Tanah Airku, Film Ini Tak Lari Meninggalkanmu


oleh Hikmat Darmawan
Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta
Thu, 27 May 2010 05:59:02 GMT

“Jadi, kamu menyarankan agar kita pasif dalam perang ini?”
 “Tidak. Saya menyarankan agar kita aktif lari dari perang ini!”
 — Woody Allen, Love and Death (1975)
Pendidikan bisa jadi alat untuk mengentaskan kemiskinan. Pendidikan juga bisa jadi iming-iming untuk meraih kemakmuran. Namun sebagai iming-iming, pendidikan bisa kebablasan menjadi alat untuk lari dari kenyataan.
“Pendidikan adalah alat untuk melompat,” kata Syamsul, tokoh dalam Alangkah Lucunya (Negeri Ini), film terbaru Deddy Mizwar, kepada sekumpulan anak jalanan pencopet profesional. Syamsul (Syahrul Dahlan) adalah sarjana pendidikan, tapi jadi pengangguran dan kerjanya tiap hari cuma sibuk main gaple. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada ilmunya, pada apa yang akan ia bicarakan. Tapi teman sekampungnya, Muluk (Reza Rahardian) yang juga sarjana (manajemen) dan juga pengangguran, memaksanya meyakinkan para pencopet itu pentingnya pendidikan.
Syamsul tak meyakini apa yang ia sampaikan. Pertama, ia menyampaikan makna pendidikan sesuai “buku”, bla-bla-bla tentang makna pendidikan sebagai alat untuk memuliakan manusia. Wajah bengong para pencopet cilik segera membuat Syamsul tak nyaman. “Terangkan pakai bahasa yang mereka mengerti,” kata Muluk. Syamsul –sambil menggerutu bahwa ia merasa dijebak, bahwa ia tak lagi meyakini apa yang ia omongkan– pun lalu bilang bahwa pendidikan adalah alat untuk melompat.
Melompat untuk apa? Intinya, melompati kemiskinan dan keterbatasan finansial, menjadi lebih kaya. Iming-iming. Dengan logika yang menurut Muluk lebih “masuk” ke benak para pencopet itu, Syamsul dan Muluk menjanjikan jika tanpa pendidikan para pencopet hanya bisa dapat duit sekian juta per tahun, maka dengan berpendidikan penghasilan para pencopet bisa jauh lebih banyak dari itu. Apa dengan mencopet juga? “Kalau orang berpendidikan, bukan mencopet namanya, tapi korupsi!” Nah, maka para pencopet pun bersemangat ingin jadi koruptor. “Hidup koruptor! Hidup koruptor!” kata mereka.
Adegan semacam ini jelas bisa menjerumuskan sebuah film jadi menggurui. Nyatanya, film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) adalah sebuah film verbalistis, seperti juga kecenderungan film-film Deddy Mizwar lainnya. Tapi Alangkah lahir dari sebuah keprihatinan mendalam Deddy Mizwar akan korupsi. Kecenderungan Deddy pada verbalisme, ia salurkan menjadi sebuah film yang berteriak lugas tentang keadaan negeri ini. Lebih mengejutkan lagi, kejutan yang menyenangkan, Deddy Mizwar tak menawarkan solusi. Ia tak menggurui ternyata. Ia hanya menyajikan masalah demi masalah, untuk kita renungi.
Antara Laskar Pelangi, Jermal, dan film ini
Film ini punya materi yang sama dengan film terlaris Indonesia sepanjang masa, Laskar Pelangi karya Riri Riza. Ada anak-anak marginal, ada kemiskinan yang akut, dan ada percakapan tentang pendidikan. Dan, jangan lupa, ada juga nilai religius Islam yang diungkapkan secara verbal.
Laskar Pelangi menyikapi kemiskinan sebagai sesuatu yang bisa diatasi oleh kegigihan individual. Dalam kisah kegigihan itulah diletakkan keharuan, kegembiraan, dan petuah. Kegigihan untuk apa? Untuk menyelesaikan sekolah, melanjutkan sekolah hingga ke luar negeri (“ke Paris!”), sehingga kemiskinan itu pada akhirnya takluk oleh sukses individual. Memang, ada yang gagal dan ditangisi oleh Laskar Pelangi (Lintang yang “jenius” –dalam arti jenius matematika– malah tak bisa melanjutkan sekolah).
Perlukah ditegaskan bahwa “sukses” dalam Laskar Pelangi, mengacu pada pandangan novelnya (yang ditulis Andrea Hirata) adalah berarti “kemakmuran pribadi” atau “kekayaan pribadi”?
Dambaan kekayaan seperti dalam Laskar Pelangi rupanya memikat banyak orang di negeri ini. Di tengah maraknya “bisnis motivasi” semenjak Krisis Moneter 1997, film Laskar Pelangi menyentuh kecenderungan pasar tersebut. Dambaan itu tak hadir dalam bentuk yang kasar, tapi diberi corak moral keagamaan, dan terbungkus dalam sebuah pesan tentang pentingnya bersekolah, yang pada gilirannya kemudian dikemas lagi dalam sebuah cerita yang girang, ajaib, lucu di sana-sini, tentang kehidupan sekelompok anak-anak miskin di pelosok.
Dengan kata lain, dambaan akan kekayaan itu dibungkus lagi oleh sebuah cerita eksotik tentang kemiskinan. Cerita yang eksotik, pesan yang menyenangkan, dan toh sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, seperti tercantum dalam bagian akhir film itu.
Tapi, iming-iming sukses demikian bisa sangat melenakan. Lebih dari itu, iming-iming tersebut jelas mengabaikan sebab struktural dari kemiskinan. Bahwa ada persoalan-persoalan besar bersifat sistemik dalam kemiskinan akut yang melanda kebanyakan warga sebuah negara kaya seperti Indonesia. Persoalan seperti ketimpangan pembangunan, pemusatan modal pada segelintir golongan, persekongkolan modal dan kekuasaan, korupsi, korupsi, dan, ya, lagi lagi korupsi….
Korupsi yang dilakukan begitu sering, oleh begitu banyak orang, sehingga menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Korupsi sistemik, yang menghasilkan kemiskinan yang sistemik. Tapi, sebelum kita ke sana, kita kembali pada soal iming-iming itu.
Jadi, dalam Laskar Pelangi, sekolah adalah alat atau jembatan untuk meraih sukses (Mirip bukan, dengan cara Syamsul menjelaskan manfaat pendidikan dalam Alangkah?). Pesan ini, terbukti telah mencapai fungsinya: memberi harapan (atau membuai?) –kemungkinan– sebagian besar dari sekitar empat juta penonton Laskar Pelangi. Tapi, seusai keriaan “inspiratif” itu, muncul sesuatu yang merupakan antitesa Laskar Pelangi: film Jermal, karya Ravi Bharwani, Raya Makarim, dan Utawa Tresno.
Dalam Jermal, sekolah adalah sesuatu yang musykil, tak masuk akal, tak berguna di dalam sebuah kemiskinan akut yang menyelimut. Film ini berkisah tentang manusia-manusia di sebuah jermal —tempat penangkapan ikan yang terletak di tengah laut, di selat Malaka. Jermal menjadi sebuah isolasi sempurna, dan karenanya menjadi sebuah dunia tersendiri. Berita-berita yang ada, dan menjadi ilham bagi film ini, menyebut terjadi perbudakan anak di jermal-jermal itu. Tapi, dalam dunia dalaman jermal sendiri, apa makna perbudakan?
Jermal menangkap puisi dalam dunia terasing mutlak itu. Lebih dari itu, ia memasuki kompleksitas persoalan, menukik jauh ke dalam. Jermal tak lagi membutuhkan adanya antagonis, sehingga bahkan si centeng jermal, Johar (Didi Petet, dalam salah satu peran terbaiknya), bukanlah orang jahat. Ia hanyalah seorang yang melakukan kesalahan, lari, lalu memilih bermukim dalam keasingan laut.
Dalam keasingan laut itu, waktu seakan berhenti, atau sekadar mengayun perlahan. Kadang ada hujan badai, kadang ada paus di jauh malam, kadang ada polisi dan entah apa lagi. Tapi, semua datang dan pergi, sementara yang menetap adalah rasa terasing yang mutlak itu. Dalam keadaan itulah, datang Jaya (Iqbal S. Manurung), anak 12 tahun, yang ibunya baru saja meninggal. Jaya dibawa dari kota untuk menemui Johar yang konon adalah ayahnya. Johar menolak mengakui. Baginya, Jaya hanyalah tambahan anak dari sebaris anak yang selama ini ia pekerjakan. Anak-anak yang tak lagi mengenali dunia “normal” yang mewajibkan mereka, antara lain, bersekolah.
Maka, begitulah: seragam Jaya compang-camping, buku pelajarannya disobek-sobek jadi mainan, dan ia harus bekerja keras. Sekolah tak bisa jadi iming-iming, bahkan ia bukanlah impian manis. Sekolah hanyalah sebuah atribut pada dunia yang telah ditinggalkan. Jaya harus hidup dalam normalitas baru itu.
Tapi, apakah Jermal menjadi antipendidikan? Sama sekali tidak.
Setelah dilucuti dari semua atribut sekolahnya, dari semua normalitas lamanya, Jaya perlahan muncul menjadi seseorang yang bisa memberikan sesuatu yang mewah bagi anak-anak lain: ilmu. Dalam hal Jaya di jermal itu: ilmu membaca dan menulis. Begitulah: sebagian besar anak-anak itu mengantre, minta dituliskan surat atau apapun, oleh Jaya. Termasuk seorang anak yang berbakat mengarang (membual) cerita fantastis, dan seorang anak yang berbakat menyair. Anak-anak itu tak bisa menulis, tapi tak pernah kehilangan bahasa. Sekolah adalah sesuatu yang mustahil di jermal, tapi ilmu tidak.
Dengan demikian, dari sudut pesan tentang pendidikan dan kemiskinan, Jermal mencapai pemaknaan yang lebih hakiki tentang pendidikan daripada Laskar Pelangi. Semakin terasa kontras lagi jika kita membandingkannya dengan sekuel Laskar Pelangi, yakni Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009). Dalam film kedua dari rencana trilogi Laskar Pelangi, sekolah berkembang menjadi sebuah atribut sosial yang didambakan, sambil semakin kehilangan konteks. “Sorbonne”, perguruan tinggi terkemuka di Paris, yang disebut berulang-ulang, terasa sekadar menjadi semacam merk idaman seperti “Louis Vitton” atau “Versace”.
Persoalan terbesar Jermal adalah: gagasan dan pendekatan sinematiknya, rupanya tak bisa diterima sebagian besar penonton kita sekarang. Termasuk pula para kritikus film kita. Film ini ditonton hanya sedikit orang, dan sama sekali tak dibesarkan oleh media.
Dan kali ini, tema pendidikan dan anak miskin hadir dalam Alangkah dengan pendekatan sinematik yang lebih popular ala Deddy Mizwar.
Sejak awal, Alangkah menyodorkan masalah pendidikan dengan kompleksitas yang diungkap secara lugas. Mulai dari perdebatan dua orang tua, Makbul (Deddy Mizwar) dan Haji Sarbini (Jaja Miharja) tentang apakah pendidikan itu penting (menurut Makbul) atau tak penting (Haji Sarbini); lalu upaya Haji Rahmat (Slamet Raharjo) sang imam mushalla menengahi debat itu; hingga pilihan anak-anak mereka –Muluk, Pipit (Tika Bravani), dan Syamsul– untuk mendidik anak jalanan yang tergabung dalam geng copet pimpinan Jarot (Tio Pakusadewo).
Lebih dari itu, Alangkah menempatkan tema pendidikan itu sebagai salah satu sisi dari masalah. Masalah kemiskinan menjadi perhatian utama: bagaimana kita mengatasi kemiskinan? Jawaban Alangkah, dengan naskah dari Musfar Yasin, sudah jauh melampaui penyederhanaan masalah dalam Laskar Pelangi, bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan sukses pribadi melalui sekolah. (Bukankah terbukti, dalam Laskar Pelangi, Lintang yang pintar pun tetap miskin ketika ia tak bisa melanjutkan sekolah?)
Jawaban Alangkah terhadap masalah kemiskinan adalah sebuah pertanyaan: bagaimana jika ada masalah lain yang lebih dalam?
Halal Haram yang Dewasa
Sebetulnya, Alangkah menjawab pertanyaan tadi secara lugas pula. Ya, memang ada masalah yang lebih dalam. Tapi, sebelum itu, mari kita sentuh sisi lain masalah yang disajikan dalam Alangkah yang juga menarik dan boleh jadi penting. Masalah peliknya menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam situasi nyata.
Representasi masalah ini sangatlah langsung: masalah halal dan haram. Artinya, ini masalah khas mayoritas warga beragama Islam di negeri ini. Deddy dan Musfar melakukan pendekatan yang berani, tapi juga alamiah jika melihat karya-karya mereka selama ini, dalam mengangkat persoalan ini: bukannya menghaluskan, bukannya mengidealkan, dan jelas tak ingin menghindar, mereka malah menggamblangkan persoalan ini, sambil tak menutup mata pada kompleksitas kenyataan yang ada.
Mereka menempatkan persoalan halal-haram ini tidak di ruang kosong, tapi dalam sebuah konteks.
Sebelum itu, bagi yang masih meragukan bahwa persoalan halal-haram –yang sudah lama sering diledek (“cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal”)– adalah absah, kita timbang dulu beberapa hal. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Persoalan halal dan haram adalah sesuatu yang lekat dalam agama ini, seperti juga masalah kosher bagi umat Yahudi. Walau kenyataannya belum tentu seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan asas halal-haram itu dengan taat, bukan berarti persoalan ini remeh belaka.
Kedua, seiring kemajuan teknologi informasi belakangan ini, masalah halal-haram bagi semakin banyak orang Islam tumbuh menjadi sebuah persoalan gaya hidup yang genting. Misalnya, tumbuhnya industri halal yang semakin menarik perhatian dunia. Baca misalnya laporan majalah Time, 25 Mei 2009, tentang globalisasi “industri halal”. Dan persoalan halal-haram ini jelas tak sebatas apakah makanan mengandung babi atau minuman mengandung khamr yang memabukkan. Tapi mencakup pula masalah “kebersihan” penghasilan, lembaga keuangan, dan pola konsumsi.
Itulah mengapa, pasti ada sebuah gerit yang mengilukan hati penonton Muslim yang menganggap serius soal ini, ketika menyaksikan dalam Alangkah Muluk menyetor uang hasil copet anak-anak yang ia kelola ke Bank Muamalat. Dan itulah mengapa, di samping pertimbangan product placement, film ini seperti menekan-nekankan adegan ketiga para ayah memakan sosis bawaan Muluk sebagai hasil dari mengelola uang copet itu (tanpa sepengetahuan para haji ayah mereka).
Bukannya Muluk lugu. Ia hanya mengambil kesimpulan yang ia anggap baik, ketika di awal film Haji Rahmat memberi fatwa tak mengapa beternak cacing, sampai tiba pekerjaan yang lebih halal. Kerangka pikir Muluk jelas: sampai tiba pekerjaan yang lebih baik, tak apa ia melakukan pekerjaan “kotor” –apalagi, toh ia mengupayakan perbaikan agar anak-anak jalanan itu beralih dari pekerjaan haram mereka menuju pekerjaan halal, mengasong.
Lalu Muluk pun mengajak Syamsul, sarjana pendidikan yang setiap hari hanya main gaple di pos kamling gang kampungnya, dan Pipit, anak Haji Rahmat. Syamsul diminta mengajar pelajaran umum, terutama membaca dan menulis. Pipit, yang sebelumnya hanya sibuk berharap dapat undian atau hadiah kuis, mengajar pendidikan agama. Perlahan, ketiga anak muda ini pun menemui makna atas hidup mereka.
Makna yang ternyata harus berbentur pada nilai-nilai para ayah. Di sepertiga akhir, film yang nyaris menuju utopia ini (peresmian enam perangkat asongan) berbelok tiba-tiba. Ketiga orang tua itu datang ke tempat anak-anak mereka bekerja di bidang “Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Jebulnya, itu tempat copet –mereka baru tahu itu (gestur Jaja Miharja ketika karakternya baru sadar itu tempat copet sungguh piawai, begitu alamiah).
Tadinya, mereka terbawa suasana. Mereka sudah siap mengangkat tangan, berdoa bagi para anak copet itu. Sampai tiba-tiba mereka melihat sosok Jarot yang picek, dalam gelap. Sosok gelap dari dunia gelap. Mereka pun tersadar, selama ini mereka dan anak-anak mereka memakan rezeki haram.
(Perlu dicatat: Tio Pakusadewo sebagai Jarot si bos copet dengan istri berjilbab di film ini bermain sungguh luar biasa. Ia betul-betul masuk ke karakter, sampai-sampai –kata Deddy Mizwar kepada Rumahfilm.org– ketika adegan Jarot mengamuk, marah pada keadaan yang menyebabkan Muluk tak lagi membantu para copet, Tio harus dihentikan karena ia mengamuk sungguhan bak preman dan bisa menyakiti anak-anak itu.)
Wajarkah kesedihan Makbul dan Rahmat? Wajar dan logis. Di titik ini, saya sangat menyukai pilihan untuk mewakilkan argumen di seberang para Ayah itu pada Pipit, seorang perempuan. Pipit memberi perspektif lain: ia, Muluk, dan Syamsul tidak salah. Mereka memperbaiki keadaan, dan mau berkotor-kotor untuk itu. Dan, jika itu tak memenuhi standar “kebersihan” ayahnya yang kyai, itu tanggung jawab Pipit yang sudah dewasa.
Dan kemudian, Syamsul berteriak di gang itu. Ketika melihat gelagat Muluk dan Pipit ingin menghormati keinginan ayah mereka, Syamsul berteriak putus asa, “apa lu mau lihat gue jadi bangke lagi?!” Akting Asrul di sini sungguh berhasil.
Di sini, kita merasakan, ada sesuatu yang menerkam: ada sesuatu yang lebih besar, yang menyebabkan bahkan perhitungan benar dan salah, halal dan haram, menjadi musykil. Bagi yang meyakini, tentu saja pandangan para ayah itu benar. Tapi, kita bisa melihat, pandangan para anak itu pun tak keliru. Menjaga kemurnian tak salah, beraksi dengan mau kotor pun tak salah. Lalu, kenapa mereka jadi serba salah?
Ada sesuatu di luar pilihan-pilihan individual mereka yang lebih menentukan.
Film dengan “Gambaran Besar”
Maka jelaslah, Alangkah lebih tertarik memasalahkan sebuah gambaran besar. Ia bicara tentang bangsa, tentang sebuah negara yang sedang menyakiti warganya. Betapa getir hidup di sebuah negara, ketika korupsi jadi harapan, bukan?
Karena kesadaran ingin mencipta dengan sebuah gambaran besar itulah, film ini terasa riuh rendah dengan sketsa lugas kehidupan kiwari bangsa ini. Ada caleg yang serbagombal. Ada dukun-dukun yang memberi janji-janji kemakmuran serbaklenik. Ada televisi yang menyajikan angan-angan. Ada polisi yang menerima suap. Ada Satpol PP yang tak mau pusing, dan memutuskan memenjara orang agar mereka tak pusing lagi. Tapi, ada juga orang-orang yang ingin keluar dari kubangan gelap itu.
“Ini negara bebas…. Yang mau nyopet, nyopet! Yang mau ngasong, ngasong!”
Latar dunia gelap itu, geng para pencopet itu, tampil begitu hidup, sehidup kekumuhan Jakarta yang berulangkali didatangi kamera film ini. Untuk soal itu, Deddy Mizwar memuji setinggi langit Aria Kusumadewa (sutradara Beth) ketika mengomentari gambaran daerah kumuh dan anak jalanan yang realistis dalam film ini, di samping memuji Musfar Yasin sang penulis skenario yang bertahun-tahun hidup dengan anak jalanan dan para copet betulan. “Wah, itu Aria ahlinya deh. Saya Alhamdulillah ketika dia bilang mau bantuin di film ini….” Kata Deddy kepada Rumahfilm.org.
Aria juga membantu Deddy mencari anak jalanan sungguhan untuk casting Alangkah. “Kalau lagi bikin film, bagian yang paling membuat saya nggak bisa tidur adalah waktu pencarian casting,” kata Deddy. Ini mencerminkan gagasan sinematik Deddy, yang mementingkan karakterisasi tokoh serta seniperan ketimbang kepiawaian fotografis (atau “estetika gambar”). Ia menceritakan si pemeran Glenn yang memang sangat “seram” waktu pertama jumpa – dan tak kenal sama sekali pada Deddy Mizwar. “Kalau kamu lihat tadi, ada adegan mandi si Glenn itu gemetar kedinginan, memang dia gemetar betulan, biasanya kagak pernah mandi,” kata Deddy tertawa.
Realisme itu menjadi sebuah pengimbang dari naskah yang bersifat parodi, serba mengarikaturkan. Kelemahan terbesar naskah ini adalah keluguan Muluk, bahwa “kalau lu nyari duit dengan halal, maka nggak ada alasan mereka menangkap lu.” Tapi, jelas, di sini Deddy dan Musfar sedang menerapkan semacam litentia poetica – ketika pakem ataupun keharusan bisa dibengkokkan demi sampainya maksud cerita.
“Mungkin saya sudah tua, ya. Buat orang seusia saya, masalah cinta-cintaan antara lawan jenis itu sudah nggak penting lagi,” kata Deddy Mizwar ketika Rumahfilm.org bertanya kenapa dalam film-filmnya nyaris selalu ada lagu kebangsaan. “Buat saya, sekarang, yang penting adalah kecintaan pada bangsa ini,” lanjut Deddy. Klise? Khutbah? Tapi, jika dijajarkan dengan para sineas kita yang lain, yang kini aktif, bisa jadi mengucap klise demikian adalah keberanian tersendiri. Memang, bukankah sedikit sekali sineas kita sesudah era Reformasi yang secara konsisten bicara tentang korupsi dan bangsa?
Dan dengan berani film ini ditutup oleh pertanyaan. Dengan berani, akhir film bukanlah kesimpulan yang menyenangkan atau membuai. Dengan berani film ini tidak berhenti pada harapan kosong.
Dalam ending film yang boleh jadi salah satu yang terbaik dalam sejarah film nasional –setidaknya sesudah reformasi ini– film ini seolah “berteriak”. Ending itu melibatkan 400 orang pemain, dikoreografi dalam rangkaian adegan yang bersambungan antara serangkai adegan yang diiringi lagu Balada Sejuta Wajah (Achmad Albar & Ian Antono), disambung rangkaian adegan yang diiringi lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Banyak yang terjadi di situ.
Harapan-harapan terbanting. Orang baik tak selamanya mendapat ganjaran baik. Agama belum terlihat mampu memberi jawaban jitu. Amanat Undang-Undang Dasar belum terlaksana. Dan justru dengan menyajikan kenyataan-kenyataan getir itu, film ini tak melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak pasif, tidak pula “aktif lari” seperti ungkapan Woody Allen di atas. Ia mencari jalan lain: ia aktif bertanya, dan aktif menjebloskan kita pada pertanyaan-pertanyaan itu.
Film ini bertanya, berteriak, mengkritik, tanpa bungkus pikiran-pikiran njelimet atau fashionable, dan justru karena itu film ini mengajukan sikap: ia tak mau meninggalkan Indonesia.
*Diunduh dari http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_alni_1.htm

Makna sosial lebaran dan Mudik


Fenomena mudik yang demikian rupa dipublikasikan di berbagai media massa, sampai tidak jarang banyak menelan jiwa. Namun tidak menyurutkan langkah para pemudik untuk pulang ke kampungnya. Di terminal, pelabuhan, stasion dan bandara selalu nampak membludaknya orang seakan-akan mudik merupakan bagian dari kewajiban di bulan puasa.
Perayaan lebaran yang ditandai tradisi mudik merupakan puncak pengalaman sosial keagamaan yang khas masyarakat muslim Indonesia. Di dunia arab sendiri sebagai tempat lahirnya agama Islam, tradisi Idul Fitri tidak disambut dengan gegap gempita seperti layaknya di Indonesia. Malahan yang menjadi hari raya terbesar bagi bangsa Arab adalah lebaran haji, Idul Adha.
Itulah kenapa seorang antropolog asal Swedia, Andre Moller menyatakan bahwa puasa di Jawa bisa disebut sebuah ritus induk dan di bawahnya terdapat macam-macam sub ritus yang kesemuanya terikat secara erat dengan Ramadhan. dan ibadah sunat lebih digemari dari pada ibadah wajib di luar bulan Ramadhan. Dengan semangat yang sama, Clifford Geetrz menyatakan lebaran merupakan puncak ritual  yang menasional. Melalui lebaran integritas dibangun : yang jauh didekatkan, yang putus di sambung, yang berbeda diharmoniskan, yang terpisah dipertemukan dan yang rusak diperbaiki.
Dari ungkapan di atas, kita melihat bagaimana Islam diterjemahkan tidak dalam ruang kosong, dihadapkan dalam realitas budaya lokal akan mengalami pola yang berbeda dan akan terjadi akulturasi budaya tanpa merubah hukum itu sendiri. Nampak jelas dari penggunaan bahasa dalam penyebutan idul fitri dikenal dengan sebutan lebaran, sholat lebih popoler dengan sembahyang dan ustad lebih enak dipanggil kyai atau tuan guru.
Budaya lebaran di Indonesia merupakan menifestasi dari ajaran Islam Lokal. Lebaran yang dibungkus dalam tradisi mudik, silaturrahmi, mendatangi leluhur yang sudah meninggal dan halal bi halal adalah bentuk penerjemahan dari ajaran Islam model Indonesia.
Karena itulah bagi muslim Indonesia Idul fitri yang berarti kembali dimaknai dengan mudik yang sama-sama berarti kembali. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mudik diartikan sebagai pulang kembali ke kampung halamannya.
Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur'an, Idul fitri yang berasal dari kata a'da yang berarti kembali, Kembali dari apa? Kembali kepada fitri. Fitri berarti keadaan yang mula-mula diciptakan Allah.
Idul fitri pada hakikatnya adalah akhir dari perjalanan berupa bulan puasa atau Ramadhan. Puasa yang indentik dengan menahan lapar dan dahaga adalah simbol untuk menunjukkan kebersamaan, kepedulian, keprihatinan dan tanggung jawab  seorang muslim akan umat manusia, baik muslim maupun non muslim lainnya yang tiap harinya kelaparan dan kehausan. Sehingga di Idul Fitri, umat muslim merayakan kemenangan setelah satu bulan lamanya,  untuk bersuka cita sesama umat manusia dalam satu kepedulian, tanggung jawab serta adanya rasa berderajat dan berkedududukan yang sama dihadapan Allah seperti baru dilahirkan atau diciptakan kembali.
Sementara mudik yang berarti kembali, bagi para pemudik seperti didorong-dorong sedemikian kuatnya untuk meninggalakan tanah perantauan dan kembali ke halaman kampunya. Seolah-olah ada suara panggilan yang memberikan sinyal bahwa mereka memiliki tanah kelahiran, sanak saudara yang sedang menunggu dan sejarah masa lalu.
Mudik lebaran tak ubanya pulang pada kampung rohani dan jiwa sendiri, dan hari raya   kemenangan umat manusia melawan nafsunya sendiri. Dengan demikian lebaran yang berarti hari raya laksana bercermin dalam ruang dan waktu, kembali pada masa lalu demi menemukan akan masa depan yang terbungkus dalam kesadaran akan kefitrahan manusia.
Simbol Kekerabatan   
Begitu berat beban untuk mudik lebaran, tranportsi sulit dan mahal. Pemudik bukan hanya menyiapkan biaya untuk mudik, namun untuk berlebaran sendiri, menyenangkan sanak saudara. Karena itu, walaupun mudik menyulitkan tapi juga menyenangkan sekaligus.
Yang menarik adalah apa makna sosial yang penting dalam mudik lebaran?. Melihat kadar sosial dari mudik lebaran, yang begitu terasa adalah masih kuatnya ikatan kekrabatan antar sesama warga masyarakat Indonesia. Rasa kekrabatan inilah yang mengharuskan warga urban atau para perantau untuk kembali ke kampungnya, sekurangnya satu tahun sekali, dan momen yang paling pas adalah di waktu lebaran tiba.
Di saat lebaran tiba, sanak saudara dan teman yang merantau bertebaran di  berbagai kota besar, berkumpul dan berkunjung atau pulang sementara ke kampung halamannya yang memiliki kaitan sosial dengan kampungnya. Pola jalinan sosial yang mengakar di kampung halaman menyapanya untuk kembali dalam sebuah kebersamaan dan kekerabatan yang masih kokoh. Jadi peristiwa maaf-maafan, silaturrahmi dan saling ketemu menjadi penting dalam labaran.
Hal ini yang membedakan dengan kehidupan di perantauan atau kota. Di mana kehidupan kota penuh persaingan, rasa individualisme sangat tinggipada tetengganyapun sampai tidak mengenalnyaberlomba-lomba memperoleh materi  dan kesenangan. Dengan kehidupan kota yang tidak bisa memberi aman pada jiwa, maka  kerinduan akan kebersamaan dan kekerabatan akan kampung halamannya tidak bisa terelakkan sebagai kebutuhan manusia. 
Di sisi lain, tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dari lebaran adalah ziarah ke kubur, mengunjungi keluarga atau leluhur yang sudah tiada. Ziarah ke kubur sebagai bentuk persambungan sejarah, asal muasal diri bahwa hidup di awali dari keluarga yang meninggal dengan menunjukkan silsilah dan hubungan kekeluargaan. Manusia tidak bisa dilepaskan dari  hubungan dan silsilah dan menghayati perjalanan waktu dalam wujud yang utuh di antara tiga dimensi, masa lalu, sekarang dan yang akan datang. 
Maka dengan menziarah kubur yang memiliki hubungan silsilah dengan keluarganya   akan memberikan pemahaman bagaimana jalinan keluarga terdekat yang dapat memperkuat ikatan kekeluargaan tidak hanya melibatkan orang yang masih hidup namun  juga mengikut sertakan mereka yang tidak nampak, meninggal.
Dari peristiwa lebaran dan mudik, bagaimana masyarakat tradisional tidak ingin tercerabut dari akar budaya sendiri yang membentuk mindset dan prilaku kesehariannya. Meskipun penghayatan akan tradisnya berbeda di masing-masing daerang, namun pada prisipnya sama, yaitu kebutuhan manusia akan kekerabatan dan kebersamaan tidak bisa ditutupi dalam kehidupan kota yang asing.
Pada akhirnya, kita dapat memetik intisari makna sosial dari laku lebaran dan mudik, yaitu peleburan manusia dalam satu ikatan kemanusiaan yang kokoh yang terwadahi dalam rumusan kebersamaan dan kekerabtan untuk saling peduli, empati, dan menghargai perbedaan budaya, ras, gender, suku, bangsa bahkan agama tanpa ada superioritas atas manusia lainnya.

Minggu, 30 Oktober 2011

Pancasila: Refleksi Sejarah dan Orientasi Bangsa*

Oleh : Ahmad Doer**

Ketika mendapatkan SMS untuk megisi Refleksi Kesaktian pancasila  ada sebuah pertanyaan yang membekas di benak. Apa yang melatarbelakangi Kesaktian Pancasila? Sehingga setiap tahunnya, tepatnya tanggal 1 Oktober kita diharuskan mengibarkan bendera setengah tiang dan memperingati dengan upacara.
Di sinilah tulisan ini akan membahas soal sejarah pancasila (kesaktiaanya) dan orientasi bangsa. Kalau kita mau merunut sejarah lahirnya Pancasila yang dicetuskan Soekarno pada 1 Juni 1945, dan pandangan Moh. Yamin soal dasar sebuah Negara masih menjadi perdebatan. Kerena, dua tokoh, bapak pendiri bangsa (founding father) berbeda dalam membahasakan Pancasila yang kita kenal saat ini. Selain urutan sila-sila yang tidak sama, juga konsep trisila dan ekasila yang juga disampaikan soekarno (kebangsaan indonesia, internasionalisme atau perikemanusian, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berkebudayaan), diperas menjadi trisila sosio-nationalisme, socio-demokratie dan ketuhanan) kemudian diperas lagi menjadi ekasila (gotong royong) ada perbedaan.
Namun terlapas dari itu, benang merah yang dapat dipetik adalah, bahwa tawaran yang diajukan Moh Yamin dan Soekarno pada prisipnya adalah sama. Dan sebagai warga Negara, kita diajak untuk melihat hari lahirnya Pancasila dalam kerangka kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Hari lahirnya Pancasila bukan dilihat dari orangnya siapa pencetus pertama melainkan hasil kerjasama tim badan persiapan kemerdekaan indonesia. Moh Yamin, Soekarno atau siapapun adalah anggota tim BPUPKI yang berjuang demi Indonesia. Sebagaimana pernyataan sejarahwan Anhar Gonggong menyangkut hari lahir pancasila:

“tanggal 1 juni sudah tepat dijadikan hari lahir pancasila. namun, pada tanggal itu pancasila belum dinobatkan sebagai dasar negara, sebab Indonesia belum dinyatakan merdeka” 
Kesaktian Pancasila?
Sejarah yang melatarbelakangi munculnya kesaktian pancasila adalah adanya gerakan yang menewaskan para jendral dan jutaaan orang kehilangan hak kebebasan, politik, warga Negara dan nyawa melayang sia-sia hanya demi kekuasaan. Gerakan tersebut dikenal dengan Gerakan 30 September (Gestapu) atau 1 Oktober 1965 (Gestok) karena secara kronologis terjadi dini hari.
Kemudian, gestapu diembeli kata PKI dibelakangnya (G-30-S/PKI). Hal ini menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan, sejak kapan PKI menjadi agen tunggal dalam peristiwa tersebut? Kalau kita mau menengok buku sejarah yang ditulis pada Orde Baru bahwa Gestapu merupakan  gerakan merebut kekuasaan yang dilakukan PKI untuk merubah dasar Negara menjadi komunis atau sosialis. Hal ini lah yang digembar-gomberkan Soeharto melalui buku, pelatihan dan media TV sebagai Hari Kesaktian Pancasila bahwa seolah-olah PKI menjadi dalang dibalik peristiwa tersebut. Sehingga kata PKI dibelakang adalah sebuah keniscayaan, karena sejarah memang dibentuk oleh mereka yang menang dan berkuasa.
Namun, ketika Soeharto lengser dari jabatanya, kontroversi dan debat soal Gestapu tidak pernah berhenti dan keterlibatan PKI sebagai aktor  tidak pernah tuntas siapa dibalik ini semua. Di media massa dan tv selalu kita mendengar perdebatan panjang, seakan-akan ini adalah misteri dari sejarah. Gelapnya sejarah peristiwa pembantaian jutaan orang, dibiarkan begitu saja tanpa adanya kejelasan sejarah untuk masa depan bangsa Indonesia sebagai pembelajaran sejarah.  
Dengan demikian, penting rasanya memahami sejarah yang terjadi pada 65-an. Setelah perang dunia II berakhir, perang secara fisik, face to face sudah tidak ada lagi. Karena ada aturan main yang di bawah kendali PBB. Perubahan perang saat ini adalah perang informasi dan ideology.
Sejarah yang terjadi di Inonesia tidak bisa dilepaskan dari setting global yang sedang bergejolak. Di mana ada dua kekuatan yang saling mempengaruhi dan bertarungdikenal dengan perang dingin yaitu ideologi kapitalis dan ideologi sosialis untuk memperebutkan daerah kekuasaannya tuk diajadikan “pasar”. Ideology kapitalis  dikomandoi oleh Amerika Serikat dan ideology sosialis dibawah kendali Uni Sovyet (dan Cina).
Peperangan antara dua kutub dimanfaatkan dengan cerdik oleh Soekarno untuk membentuk Kofrensi Asia-Afrika di Bandung dan membangun kekuatan menanding dua blok yang saling berperang. Gerakan itu dikenal dengan Non-blok, tidak memihak ke barat, tidak pula timur. Namun kecendrungan Soekarno pada ideologi sosialis yang menimbulkan  “kebencian” blok kapatalis.
Hal itulah yang menyebakan Soekarno harus diturunkan dari kekuasaannya dengan mengadu domba kekuatan yang salama ini menjadi penyangga kekuasaannya, antara pihak agama dalam konteks ini NU, Nasionalis (PNI) dan komunis (PKI).
Sejak kejadian Gestapu  secara perlahan-lahan Soeharto mengambil kendali kekuasaan dan memukul balik lawan-lawan politiknya yang selanjutnya mengantarkan menjadi presiden selama 32 tahun.
Kembali ke pertanyaan soal peringatan Kesaktian Pancasila yag dirayakan dengan acara serimonial upacara. Agaknya peringatan dan upacara ritual ini lebih tepat berupa konfirmasi dan legitimasi pada rakyat bahwa menumpas dan membunuh berapun banyaknya orang demi merebut kekuasaan dan sekarang terbukti cenderung untuk kepentingan sekelompak orang adalah hal yang perlu didukung.
Dari segi kemanusiaan, bukankan peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini mestinya adanya penyesalan dan keprihatinan atas jutaan nyawa rakyat Indonesia yang melayang karena ulah seorang yang bernama Soeharto?
Memahami Pancasila
Pengamalan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seakan akan jauh antara panggang dan api. Apa yang diharapkan akan terbentuknya rasa keadilan social, kesejahteraan, persatuan, ketuhanan dan kemanusiaan hanyalah sebuah slogan yang kosong dan kering.
Pancasila hanya dijadikan hafalan di setiap pelajaran dan upacara tanpa mampu menjadikannya sebagai karakter, perekat dan landasan sebagai bangsa. Terjadinya radikalisasi dan kekerasan atas nama golongan, kelompok, ras, etnis dan agama merupakan bentuk hilangnya spirit pancasila dalam kehidupan nyata. Perilaku para elit yang seharusnya mementingkan hajat warga Negara secara keseluruhan terlihat jelas berpaling dan mementingkan dirinya sendiri (golongan).
Maka, memahami kembali pancasila sebagai landasan Negara secara utuh sangat penting dan mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih kongkrit. Sehingga rakyat dapat menikmati makna dari kehadiran pancasila.
*****
Ketuhanan yang Maha Esa dilatekkan dalam karangka bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya menurut caranya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Seperti yang Soekarno katakan “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain”.
Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ditempatkan dalam karangka konsep kebangsaan berdasarkan kemanusiaan. Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “my nationalism is humanity". Kebangsaan yang berdasarkan pada kemanusiaan menuju kekeluargaan bangsa-bangsa, bukan kebangsaan yang menyendiri, chauvanisme, yang mengganggap bangsanya sebagai yang terbaik seperti Jerman dan Israil alami.
Sila Persatuan Indonesia dimaknai sebagai kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kebangsaan Indonesia dibangun atas dasar kesamaan kemauan dan nasib dari Sabang sampai Marauke. Pendek kata, bangsa Indonesia tidak terdiri hanya atas satu dan golongan yang hidup di bumi nusantara, namun terdiri dari perbedaan suku, golongan dan bangsa yang punya hasrat untuk bersatu. Hal ini Nampak jelas dari adigium kebangsaan Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan dimaksudkan untuk mengatur kemauan bersama dalam bentuk perwakilan melalui jalan musyawarah untuk mencari munfakat dan keputusan yang bulat. Dengan cara munfakat kita dianjurkan melakukan dialog demi tegaknya Indonesia yang lebih baik untuk kepentingan bersama rakyat kebanyakan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti adanya persamaan di depan hukum, pendidikan yang merata, ekonomi tidak dimonopoli segelintir orang dan politik. Pondasi bangsa di bangun bukan untuk satu golongan, tetapi semua untuk semua. Yaitu rasa keadilan dan kesejahteraan diperuntukkan untuk seluruh komponen rakyat Indonesia, tidak peduli ia miskin dan kaya, dari suku Bugis atau Madura, keadilan harus bisa memayungi semua golongan, memberikan rasa teduh bagi semua.
Akhirnya, kalau pancasila menjadi orientasi bangsa, dipahami dan diperjuangkan secara utuh dalam sendi-sendi kehidupan oleh semua komponen bangsa. Meminjam kata dari Presiden Amerika, Jhon F. Kenedy “jangan tanyakan apa yang Negara berikan, tapi tanyakan apa yang pernah disumbangkan untuk Negara”. Ini sebenarnya perkara mudah kalau kita mau saling mengasah, mengasih dan mengasuh dan kemauan untuk sama-sama saling belajar untuk perubahan yang lebih baik. Bukan?

*disampaikan dalam acara pelantikan pengurus komisariat STIT Al-IBROHIMY PMII Bangkalan pada tanggal 10 Oktober 2011
** Koordinator Mata Baca dan mantan pengurus Cabang PMII Jogjakarta