Minggu, 30 Oktober 2011

Pancasila: Refleksi Sejarah dan Orientasi Bangsa*

Oleh : Ahmad Doer**

Ketika mendapatkan SMS untuk megisi Refleksi Kesaktian pancasila  ada sebuah pertanyaan yang membekas di benak. Apa yang melatarbelakangi Kesaktian Pancasila? Sehingga setiap tahunnya, tepatnya tanggal 1 Oktober kita diharuskan mengibarkan bendera setengah tiang dan memperingati dengan upacara.
Di sinilah tulisan ini akan membahas soal sejarah pancasila (kesaktiaanya) dan orientasi bangsa. Kalau kita mau merunut sejarah lahirnya Pancasila yang dicetuskan Soekarno pada 1 Juni 1945, dan pandangan Moh. Yamin soal dasar sebuah Negara masih menjadi perdebatan. Kerena, dua tokoh, bapak pendiri bangsa (founding father) berbeda dalam membahasakan Pancasila yang kita kenal saat ini. Selain urutan sila-sila yang tidak sama, juga konsep trisila dan ekasila yang juga disampaikan soekarno (kebangsaan indonesia, internasionalisme atau perikemanusian, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berkebudayaan), diperas menjadi trisila sosio-nationalisme, socio-demokratie dan ketuhanan) kemudian diperas lagi menjadi ekasila (gotong royong) ada perbedaan.
Namun terlapas dari itu, benang merah yang dapat dipetik adalah, bahwa tawaran yang diajukan Moh Yamin dan Soekarno pada prisipnya adalah sama. Dan sebagai warga Negara, kita diajak untuk melihat hari lahirnya Pancasila dalam kerangka kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Hari lahirnya Pancasila bukan dilihat dari orangnya siapa pencetus pertama melainkan hasil kerjasama tim badan persiapan kemerdekaan indonesia. Moh Yamin, Soekarno atau siapapun adalah anggota tim BPUPKI yang berjuang demi Indonesia. Sebagaimana pernyataan sejarahwan Anhar Gonggong menyangkut hari lahir pancasila:

“tanggal 1 juni sudah tepat dijadikan hari lahir pancasila. namun, pada tanggal itu pancasila belum dinobatkan sebagai dasar negara, sebab Indonesia belum dinyatakan merdeka” 
Kesaktian Pancasila?
Sejarah yang melatarbelakangi munculnya kesaktian pancasila adalah adanya gerakan yang menewaskan para jendral dan jutaaan orang kehilangan hak kebebasan, politik, warga Negara dan nyawa melayang sia-sia hanya demi kekuasaan. Gerakan tersebut dikenal dengan Gerakan 30 September (Gestapu) atau 1 Oktober 1965 (Gestok) karena secara kronologis terjadi dini hari.
Kemudian, gestapu diembeli kata PKI dibelakangnya (G-30-S/PKI). Hal ini menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan, sejak kapan PKI menjadi agen tunggal dalam peristiwa tersebut? Kalau kita mau menengok buku sejarah yang ditulis pada Orde Baru bahwa Gestapu merupakan  gerakan merebut kekuasaan yang dilakukan PKI untuk merubah dasar Negara menjadi komunis atau sosialis. Hal ini lah yang digembar-gomberkan Soeharto melalui buku, pelatihan dan media TV sebagai Hari Kesaktian Pancasila bahwa seolah-olah PKI menjadi dalang dibalik peristiwa tersebut. Sehingga kata PKI dibelakang adalah sebuah keniscayaan, karena sejarah memang dibentuk oleh mereka yang menang dan berkuasa.
Namun, ketika Soeharto lengser dari jabatanya, kontroversi dan debat soal Gestapu tidak pernah berhenti dan keterlibatan PKI sebagai aktor  tidak pernah tuntas siapa dibalik ini semua. Di media massa dan tv selalu kita mendengar perdebatan panjang, seakan-akan ini adalah misteri dari sejarah. Gelapnya sejarah peristiwa pembantaian jutaan orang, dibiarkan begitu saja tanpa adanya kejelasan sejarah untuk masa depan bangsa Indonesia sebagai pembelajaran sejarah.  
Dengan demikian, penting rasanya memahami sejarah yang terjadi pada 65-an. Setelah perang dunia II berakhir, perang secara fisik, face to face sudah tidak ada lagi. Karena ada aturan main yang di bawah kendali PBB. Perubahan perang saat ini adalah perang informasi dan ideology.
Sejarah yang terjadi di Inonesia tidak bisa dilepaskan dari setting global yang sedang bergejolak. Di mana ada dua kekuatan yang saling mempengaruhi dan bertarungdikenal dengan perang dingin yaitu ideologi kapitalis dan ideologi sosialis untuk memperebutkan daerah kekuasaannya tuk diajadikan “pasar”. Ideology kapitalis  dikomandoi oleh Amerika Serikat dan ideology sosialis dibawah kendali Uni Sovyet (dan Cina).
Peperangan antara dua kutub dimanfaatkan dengan cerdik oleh Soekarno untuk membentuk Kofrensi Asia-Afrika di Bandung dan membangun kekuatan menanding dua blok yang saling berperang. Gerakan itu dikenal dengan Non-blok, tidak memihak ke barat, tidak pula timur. Namun kecendrungan Soekarno pada ideologi sosialis yang menimbulkan  “kebencian” blok kapatalis.
Hal itulah yang menyebakan Soekarno harus diturunkan dari kekuasaannya dengan mengadu domba kekuatan yang salama ini menjadi penyangga kekuasaannya, antara pihak agama dalam konteks ini NU, Nasionalis (PNI) dan komunis (PKI).
Sejak kejadian Gestapu  secara perlahan-lahan Soeharto mengambil kendali kekuasaan dan memukul balik lawan-lawan politiknya yang selanjutnya mengantarkan menjadi presiden selama 32 tahun.
Kembali ke pertanyaan soal peringatan Kesaktian Pancasila yag dirayakan dengan acara serimonial upacara. Agaknya peringatan dan upacara ritual ini lebih tepat berupa konfirmasi dan legitimasi pada rakyat bahwa menumpas dan membunuh berapun banyaknya orang demi merebut kekuasaan dan sekarang terbukti cenderung untuk kepentingan sekelompak orang adalah hal yang perlu didukung.
Dari segi kemanusiaan, bukankan peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini mestinya adanya penyesalan dan keprihatinan atas jutaan nyawa rakyat Indonesia yang melayang karena ulah seorang yang bernama Soeharto?
Memahami Pancasila
Pengamalan pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seakan akan jauh antara panggang dan api. Apa yang diharapkan akan terbentuknya rasa keadilan social, kesejahteraan, persatuan, ketuhanan dan kemanusiaan hanyalah sebuah slogan yang kosong dan kering.
Pancasila hanya dijadikan hafalan di setiap pelajaran dan upacara tanpa mampu menjadikannya sebagai karakter, perekat dan landasan sebagai bangsa. Terjadinya radikalisasi dan kekerasan atas nama golongan, kelompok, ras, etnis dan agama merupakan bentuk hilangnya spirit pancasila dalam kehidupan nyata. Perilaku para elit yang seharusnya mementingkan hajat warga Negara secara keseluruhan terlihat jelas berpaling dan mementingkan dirinya sendiri (golongan).
Maka, memahami kembali pancasila sebagai landasan Negara secara utuh sangat penting dan mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih kongkrit. Sehingga rakyat dapat menikmati makna dari kehadiran pancasila.
*****
Ketuhanan yang Maha Esa dilatekkan dalam karangka bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya menurut caranya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Seperti yang Soekarno katakan “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain”.
Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ditempatkan dalam karangka konsep kebangsaan berdasarkan kemanusiaan. Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan “my nationalism is humanity". Kebangsaan yang berdasarkan pada kemanusiaan menuju kekeluargaan bangsa-bangsa, bukan kebangsaan yang menyendiri, chauvanisme, yang mengganggap bangsanya sebagai yang terbaik seperti Jerman dan Israil alami.
Sila Persatuan Indonesia dimaknai sebagai kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kebangsaan Indonesia dibangun atas dasar kesamaan kemauan dan nasib dari Sabang sampai Marauke. Pendek kata, bangsa Indonesia tidak terdiri hanya atas satu dan golongan yang hidup di bumi nusantara, namun terdiri dari perbedaan suku, golongan dan bangsa yang punya hasrat untuk bersatu. Hal ini Nampak jelas dari adigium kebangsaan Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan dimaksudkan untuk mengatur kemauan bersama dalam bentuk perwakilan melalui jalan musyawarah untuk mencari munfakat dan keputusan yang bulat. Dengan cara munfakat kita dianjurkan melakukan dialog demi tegaknya Indonesia yang lebih baik untuk kepentingan bersama rakyat kebanyakan.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti adanya persamaan di depan hukum, pendidikan yang merata, ekonomi tidak dimonopoli segelintir orang dan politik. Pondasi bangsa di bangun bukan untuk satu golongan, tetapi semua untuk semua. Yaitu rasa keadilan dan kesejahteraan diperuntukkan untuk seluruh komponen rakyat Indonesia, tidak peduli ia miskin dan kaya, dari suku Bugis atau Madura, keadilan harus bisa memayungi semua golongan, memberikan rasa teduh bagi semua.
Akhirnya, kalau pancasila menjadi orientasi bangsa, dipahami dan diperjuangkan secara utuh dalam sendi-sendi kehidupan oleh semua komponen bangsa. Meminjam kata dari Presiden Amerika, Jhon F. Kenedy “jangan tanyakan apa yang Negara berikan, tapi tanyakan apa yang pernah disumbangkan untuk Negara”. Ini sebenarnya perkara mudah kalau kita mau saling mengasah, mengasih dan mengasuh dan kemauan untuk sama-sama saling belajar untuk perubahan yang lebih baik. Bukan?

*disampaikan dalam acara pelantikan pengurus komisariat STIT Al-IBROHIMY PMII Bangkalan pada tanggal 10 Oktober 2011
** Koordinator Mata Baca dan mantan pengurus Cabang PMII Jogjakarta    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar