Senin, 31 Oktober 2011

Alangkah Lucunya (Negeri Ini): Tanah Airku, Film Ini Tak Lari Meninggalkanmu


oleh Hikmat Darmawan
Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta
Thu, 27 May 2010 05:59:02 GMT

“Jadi, kamu menyarankan agar kita pasif dalam perang ini?”
 “Tidak. Saya menyarankan agar kita aktif lari dari perang ini!”
 — Woody Allen, Love and Death (1975)
Pendidikan bisa jadi alat untuk mengentaskan kemiskinan. Pendidikan juga bisa jadi iming-iming untuk meraih kemakmuran. Namun sebagai iming-iming, pendidikan bisa kebablasan menjadi alat untuk lari dari kenyataan.
“Pendidikan adalah alat untuk melompat,” kata Syamsul, tokoh dalam Alangkah Lucunya (Negeri Ini), film terbaru Deddy Mizwar, kepada sekumpulan anak jalanan pencopet profesional. Syamsul (Syahrul Dahlan) adalah sarjana pendidikan, tapi jadi pengangguran dan kerjanya tiap hari cuma sibuk main gaple. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada ilmunya, pada apa yang akan ia bicarakan. Tapi teman sekampungnya, Muluk (Reza Rahardian) yang juga sarjana (manajemen) dan juga pengangguran, memaksanya meyakinkan para pencopet itu pentingnya pendidikan.
Syamsul tak meyakini apa yang ia sampaikan. Pertama, ia menyampaikan makna pendidikan sesuai “buku”, bla-bla-bla tentang makna pendidikan sebagai alat untuk memuliakan manusia. Wajah bengong para pencopet cilik segera membuat Syamsul tak nyaman. “Terangkan pakai bahasa yang mereka mengerti,” kata Muluk. Syamsul –sambil menggerutu bahwa ia merasa dijebak, bahwa ia tak lagi meyakini apa yang ia omongkan– pun lalu bilang bahwa pendidikan adalah alat untuk melompat.
Melompat untuk apa? Intinya, melompati kemiskinan dan keterbatasan finansial, menjadi lebih kaya. Iming-iming. Dengan logika yang menurut Muluk lebih “masuk” ke benak para pencopet itu, Syamsul dan Muluk menjanjikan jika tanpa pendidikan para pencopet hanya bisa dapat duit sekian juta per tahun, maka dengan berpendidikan penghasilan para pencopet bisa jauh lebih banyak dari itu. Apa dengan mencopet juga? “Kalau orang berpendidikan, bukan mencopet namanya, tapi korupsi!” Nah, maka para pencopet pun bersemangat ingin jadi koruptor. “Hidup koruptor! Hidup koruptor!” kata mereka.
Adegan semacam ini jelas bisa menjerumuskan sebuah film jadi menggurui. Nyatanya, film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) adalah sebuah film verbalistis, seperti juga kecenderungan film-film Deddy Mizwar lainnya. Tapi Alangkah lahir dari sebuah keprihatinan mendalam Deddy Mizwar akan korupsi. Kecenderungan Deddy pada verbalisme, ia salurkan menjadi sebuah film yang berteriak lugas tentang keadaan negeri ini. Lebih mengejutkan lagi, kejutan yang menyenangkan, Deddy Mizwar tak menawarkan solusi. Ia tak menggurui ternyata. Ia hanya menyajikan masalah demi masalah, untuk kita renungi.
Antara Laskar Pelangi, Jermal, dan film ini
Film ini punya materi yang sama dengan film terlaris Indonesia sepanjang masa, Laskar Pelangi karya Riri Riza. Ada anak-anak marginal, ada kemiskinan yang akut, dan ada percakapan tentang pendidikan. Dan, jangan lupa, ada juga nilai religius Islam yang diungkapkan secara verbal.
Laskar Pelangi menyikapi kemiskinan sebagai sesuatu yang bisa diatasi oleh kegigihan individual. Dalam kisah kegigihan itulah diletakkan keharuan, kegembiraan, dan petuah. Kegigihan untuk apa? Untuk menyelesaikan sekolah, melanjutkan sekolah hingga ke luar negeri (“ke Paris!”), sehingga kemiskinan itu pada akhirnya takluk oleh sukses individual. Memang, ada yang gagal dan ditangisi oleh Laskar Pelangi (Lintang yang “jenius” –dalam arti jenius matematika– malah tak bisa melanjutkan sekolah).
Perlukah ditegaskan bahwa “sukses” dalam Laskar Pelangi, mengacu pada pandangan novelnya (yang ditulis Andrea Hirata) adalah berarti “kemakmuran pribadi” atau “kekayaan pribadi”?
Dambaan kekayaan seperti dalam Laskar Pelangi rupanya memikat banyak orang di negeri ini. Di tengah maraknya “bisnis motivasi” semenjak Krisis Moneter 1997, film Laskar Pelangi menyentuh kecenderungan pasar tersebut. Dambaan itu tak hadir dalam bentuk yang kasar, tapi diberi corak moral keagamaan, dan terbungkus dalam sebuah pesan tentang pentingnya bersekolah, yang pada gilirannya kemudian dikemas lagi dalam sebuah cerita yang girang, ajaib, lucu di sana-sini, tentang kehidupan sekelompok anak-anak miskin di pelosok.
Dengan kata lain, dambaan akan kekayaan itu dibungkus lagi oleh sebuah cerita eksotik tentang kemiskinan. Cerita yang eksotik, pesan yang menyenangkan, dan toh sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, seperti tercantum dalam bagian akhir film itu.
Tapi, iming-iming sukses demikian bisa sangat melenakan. Lebih dari itu, iming-iming tersebut jelas mengabaikan sebab struktural dari kemiskinan. Bahwa ada persoalan-persoalan besar bersifat sistemik dalam kemiskinan akut yang melanda kebanyakan warga sebuah negara kaya seperti Indonesia. Persoalan seperti ketimpangan pembangunan, pemusatan modal pada segelintir golongan, persekongkolan modal dan kekuasaan, korupsi, korupsi, dan, ya, lagi lagi korupsi….
Korupsi yang dilakukan begitu sering, oleh begitu banyak orang, sehingga menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Korupsi sistemik, yang menghasilkan kemiskinan yang sistemik. Tapi, sebelum kita ke sana, kita kembali pada soal iming-iming itu.
Jadi, dalam Laskar Pelangi, sekolah adalah alat atau jembatan untuk meraih sukses (Mirip bukan, dengan cara Syamsul menjelaskan manfaat pendidikan dalam Alangkah?). Pesan ini, terbukti telah mencapai fungsinya: memberi harapan (atau membuai?) –kemungkinan– sebagian besar dari sekitar empat juta penonton Laskar Pelangi. Tapi, seusai keriaan “inspiratif” itu, muncul sesuatu yang merupakan antitesa Laskar Pelangi: film Jermal, karya Ravi Bharwani, Raya Makarim, dan Utawa Tresno.
Dalam Jermal, sekolah adalah sesuatu yang musykil, tak masuk akal, tak berguna di dalam sebuah kemiskinan akut yang menyelimut. Film ini berkisah tentang manusia-manusia di sebuah jermal —tempat penangkapan ikan yang terletak di tengah laut, di selat Malaka. Jermal menjadi sebuah isolasi sempurna, dan karenanya menjadi sebuah dunia tersendiri. Berita-berita yang ada, dan menjadi ilham bagi film ini, menyebut terjadi perbudakan anak di jermal-jermal itu. Tapi, dalam dunia dalaman jermal sendiri, apa makna perbudakan?
Jermal menangkap puisi dalam dunia terasing mutlak itu. Lebih dari itu, ia memasuki kompleksitas persoalan, menukik jauh ke dalam. Jermal tak lagi membutuhkan adanya antagonis, sehingga bahkan si centeng jermal, Johar (Didi Petet, dalam salah satu peran terbaiknya), bukanlah orang jahat. Ia hanyalah seorang yang melakukan kesalahan, lari, lalu memilih bermukim dalam keasingan laut.
Dalam keasingan laut itu, waktu seakan berhenti, atau sekadar mengayun perlahan. Kadang ada hujan badai, kadang ada paus di jauh malam, kadang ada polisi dan entah apa lagi. Tapi, semua datang dan pergi, sementara yang menetap adalah rasa terasing yang mutlak itu. Dalam keadaan itulah, datang Jaya (Iqbal S. Manurung), anak 12 tahun, yang ibunya baru saja meninggal. Jaya dibawa dari kota untuk menemui Johar yang konon adalah ayahnya. Johar menolak mengakui. Baginya, Jaya hanyalah tambahan anak dari sebaris anak yang selama ini ia pekerjakan. Anak-anak yang tak lagi mengenali dunia “normal” yang mewajibkan mereka, antara lain, bersekolah.
Maka, begitulah: seragam Jaya compang-camping, buku pelajarannya disobek-sobek jadi mainan, dan ia harus bekerja keras. Sekolah tak bisa jadi iming-iming, bahkan ia bukanlah impian manis. Sekolah hanyalah sebuah atribut pada dunia yang telah ditinggalkan. Jaya harus hidup dalam normalitas baru itu.
Tapi, apakah Jermal menjadi antipendidikan? Sama sekali tidak.
Setelah dilucuti dari semua atribut sekolahnya, dari semua normalitas lamanya, Jaya perlahan muncul menjadi seseorang yang bisa memberikan sesuatu yang mewah bagi anak-anak lain: ilmu. Dalam hal Jaya di jermal itu: ilmu membaca dan menulis. Begitulah: sebagian besar anak-anak itu mengantre, minta dituliskan surat atau apapun, oleh Jaya. Termasuk seorang anak yang berbakat mengarang (membual) cerita fantastis, dan seorang anak yang berbakat menyair. Anak-anak itu tak bisa menulis, tapi tak pernah kehilangan bahasa. Sekolah adalah sesuatu yang mustahil di jermal, tapi ilmu tidak.
Dengan demikian, dari sudut pesan tentang pendidikan dan kemiskinan, Jermal mencapai pemaknaan yang lebih hakiki tentang pendidikan daripada Laskar Pelangi. Semakin terasa kontras lagi jika kita membandingkannya dengan sekuel Laskar Pelangi, yakni Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009). Dalam film kedua dari rencana trilogi Laskar Pelangi, sekolah berkembang menjadi sebuah atribut sosial yang didambakan, sambil semakin kehilangan konteks. “Sorbonne”, perguruan tinggi terkemuka di Paris, yang disebut berulang-ulang, terasa sekadar menjadi semacam merk idaman seperti “Louis Vitton” atau “Versace”.
Persoalan terbesar Jermal adalah: gagasan dan pendekatan sinematiknya, rupanya tak bisa diterima sebagian besar penonton kita sekarang. Termasuk pula para kritikus film kita. Film ini ditonton hanya sedikit orang, dan sama sekali tak dibesarkan oleh media.
Dan kali ini, tema pendidikan dan anak miskin hadir dalam Alangkah dengan pendekatan sinematik yang lebih popular ala Deddy Mizwar.
Sejak awal, Alangkah menyodorkan masalah pendidikan dengan kompleksitas yang diungkap secara lugas. Mulai dari perdebatan dua orang tua, Makbul (Deddy Mizwar) dan Haji Sarbini (Jaja Miharja) tentang apakah pendidikan itu penting (menurut Makbul) atau tak penting (Haji Sarbini); lalu upaya Haji Rahmat (Slamet Raharjo) sang imam mushalla menengahi debat itu; hingga pilihan anak-anak mereka –Muluk, Pipit (Tika Bravani), dan Syamsul– untuk mendidik anak jalanan yang tergabung dalam geng copet pimpinan Jarot (Tio Pakusadewo).
Lebih dari itu, Alangkah menempatkan tema pendidikan itu sebagai salah satu sisi dari masalah. Masalah kemiskinan menjadi perhatian utama: bagaimana kita mengatasi kemiskinan? Jawaban Alangkah, dengan naskah dari Musfar Yasin, sudah jauh melampaui penyederhanaan masalah dalam Laskar Pelangi, bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan sukses pribadi melalui sekolah. (Bukankah terbukti, dalam Laskar Pelangi, Lintang yang pintar pun tetap miskin ketika ia tak bisa melanjutkan sekolah?)
Jawaban Alangkah terhadap masalah kemiskinan adalah sebuah pertanyaan: bagaimana jika ada masalah lain yang lebih dalam?
Halal Haram yang Dewasa
Sebetulnya, Alangkah menjawab pertanyaan tadi secara lugas pula. Ya, memang ada masalah yang lebih dalam. Tapi, sebelum itu, mari kita sentuh sisi lain masalah yang disajikan dalam Alangkah yang juga menarik dan boleh jadi penting. Masalah peliknya menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam situasi nyata.
Representasi masalah ini sangatlah langsung: masalah halal dan haram. Artinya, ini masalah khas mayoritas warga beragama Islam di negeri ini. Deddy dan Musfar melakukan pendekatan yang berani, tapi juga alamiah jika melihat karya-karya mereka selama ini, dalam mengangkat persoalan ini: bukannya menghaluskan, bukannya mengidealkan, dan jelas tak ingin menghindar, mereka malah menggamblangkan persoalan ini, sambil tak menutup mata pada kompleksitas kenyataan yang ada.
Mereka menempatkan persoalan halal-haram ini tidak di ruang kosong, tapi dalam sebuah konteks.
Sebelum itu, bagi yang masih meragukan bahwa persoalan halal-haram –yang sudah lama sering diledek (“cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal”)– adalah absah, kita timbang dulu beberapa hal. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Persoalan halal dan haram adalah sesuatu yang lekat dalam agama ini, seperti juga masalah kosher bagi umat Yahudi. Walau kenyataannya belum tentu seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan asas halal-haram itu dengan taat, bukan berarti persoalan ini remeh belaka.
Kedua, seiring kemajuan teknologi informasi belakangan ini, masalah halal-haram bagi semakin banyak orang Islam tumbuh menjadi sebuah persoalan gaya hidup yang genting. Misalnya, tumbuhnya industri halal yang semakin menarik perhatian dunia. Baca misalnya laporan majalah Time, 25 Mei 2009, tentang globalisasi “industri halal”. Dan persoalan halal-haram ini jelas tak sebatas apakah makanan mengandung babi atau minuman mengandung khamr yang memabukkan. Tapi mencakup pula masalah “kebersihan” penghasilan, lembaga keuangan, dan pola konsumsi.
Itulah mengapa, pasti ada sebuah gerit yang mengilukan hati penonton Muslim yang menganggap serius soal ini, ketika menyaksikan dalam Alangkah Muluk menyetor uang hasil copet anak-anak yang ia kelola ke Bank Muamalat. Dan itulah mengapa, di samping pertimbangan product placement, film ini seperti menekan-nekankan adegan ketiga para ayah memakan sosis bawaan Muluk sebagai hasil dari mengelola uang copet itu (tanpa sepengetahuan para haji ayah mereka).
Bukannya Muluk lugu. Ia hanya mengambil kesimpulan yang ia anggap baik, ketika di awal film Haji Rahmat memberi fatwa tak mengapa beternak cacing, sampai tiba pekerjaan yang lebih halal. Kerangka pikir Muluk jelas: sampai tiba pekerjaan yang lebih baik, tak apa ia melakukan pekerjaan “kotor” –apalagi, toh ia mengupayakan perbaikan agar anak-anak jalanan itu beralih dari pekerjaan haram mereka menuju pekerjaan halal, mengasong.
Lalu Muluk pun mengajak Syamsul, sarjana pendidikan yang setiap hari hanya main gaple di pos kamling gang kampungnya, dan Pipit, anak Haji Rahmat. Syamsul diminta mengajar pelajaran umum, terutama membaca dan menulis. Pipit, yang sebelumnya hanya sibuk berharap dapat undian atau hadiah kuis, mengajar pendidikan agama. Perlahan, ketiga anak muda ini pun menemui makna atas hidup mereka.
Makna yang ternyata harus berbentur pada nilai-nilai para ayah. Di sepertiga akhir, film yang nyaris menuju utopia ini (peresmian enam perangkat asongan) berbelok tiba-tiba. Ketiga orang tua itu datang ke tempat anak-anak mereka bekerja di bidang “Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Jebulnya, itu tempat copet –mereka baru tahu itu (gestur Jaja Miharja ketika karakternya baru sadar itu tempat copet sungguh piawai, begitu alamiah).
Tadinya, mereka terbawa suasana. Mereka sudah siap mengangkat tangan, berdoa bagi para anak copet itu. Sampai tiba-tiba mereka melihat sosok Jarot yang picek, dalam gelap. Sosok gelap dari dunia gelap. Mereka pun tersadar, selama ini mereka dan anak-anak mereka memakan rezeki haram.
(Perlu dicatat: Tio Pakusadewo sebagai Jarot si bos copet dengan istri berjilbab di film ini bermain sungguh luar biasa. Ia betul-betul masuk ke karakter, sampai-sampai –kata Deddy Mizwar kepada Rumahfilm.org– ketika adegan Jarot mengamuk, marah pada keadaan yang menyebabkan Muluk tak lagi membantu para copet, Tio harus dihentikan karena ia mengamuk sungguhan bak preman dan bisa menyakiti anak-anak itu.)
Wajarkah kesedihan Makbul dan Rahmat? Wajar dan logis. Di titik ini, saya sangat menyukai pilihan untuk mewakilkan argumen di seberang para Ayah itu pada Pipit, seorang perempuan. Pipit memberi perspektif lain: ia, Muluk, dan Syamsul tidak salah. Mereka memperbaiki keadaan, dan mau berkotor-kotor untuk itu. Dan, jika itu tak memenuhi standar “kebersihan” ayahnya yang kyai, itu tanggung jawab Pipit yang sudah dewasa.
Dan kemudian, Syamsul berteriak di gang itu. Ketika melihat gelagat Muluk dan Pipit ingin menghormati keinginan ayah mereka, Syamsul berteriak putus asa, “apa lu mau lihat gue jadi bangke lagi?!” Akting Asrul di sini sungguh berhasil.
Di sini, kita merasakan, ada sesuatu yang menerkam: ada sesuatu yang lebih besar, yang menyebabkan bahkan perhitungan benar dan salah, halal dan haram, menjadi musykil. Bagi yang meyakini, tentu saja pandangan para ayah itu benar. Tapi, kita bisa melihat, pandangan para anak itu pun tak keliru. Menjaga kemurnian tak salah, beraksi dengan mau kotor pun tak salah. Lalu, kenapa mereka jadi serba salah?
Ada sesuatu di luar pilihan-pilihan individual mereka yang lebih menentukan.
Film dengan “Gambaran Besar”
Maka jelaslah, Alangkah lebih tertarik memasalahkan sebuah gambaran besar. Ia bicara tentang bangsa, tentang sebuah negara yang sedang menyakiti warganya. Betapa getir hidup di sebuah negara, ketika korupsi jadi harapan, bukan?
Karena kesadaran ingin mencipta dengan sebuah gambaran besar itulah, film ini terasa riuh rendah dengan sketsa lugas kehidupan kiwari bangsa ini. Ada caleg yang serbagombal. Ada dukun-dukun yang memberi janji-janji kemakmuran serbaklenik. Ada televisi yang menyajikan angan-angan. Ada polisi yang menerima suap. Ada Satpol PP yang tak mau pusing, dan memutuskan memenjara orang agar mereka tak pusing lagi. Tapi, ada juga orang-orang yang ingin keluar dari kubangan gelap itu.
“Ini negara bebas…. Yang mau nyopet, nyopet! Yang mau ngasong, ngasong!”
Latar dunia gelap itu, geng para pencopet itu, tampil begitu hidup, sehidup kekumuhan Jakarta yang berulangkali didatangi kamera film ini. Untuk soal itu, Deddy Mizwar memuji setinggi langit Aria Kusumadewa (sutradara Beth) ketika mengomentari gambaran daerah kumuh dan anak jalanan yang realistis dalam film ini, di samping memuji Musfar Yasin sang penulis skenario yang bertahun-tahun hidup dengan anak jalanan dan para copet betulan. “Wah, itu Aria ahlinya deh. Saya Alhamdulillah ketika dia bilang mau bantuin di film ini….” Kata Deddy kepada Rumahfilm.org.
Aria juga membantu Deddy mencari anak jalanan sungguhan untuk casting Alangkah. “Kalau lagi bikin film, bagian yang paling membuat saya nggak bisa tidur adalah waktu pencarian casting,” kata Deddy. Ini mencerminkan gagasan sinematik Deddy, yang mementingkan karakterisasi tokoh serta seniperan ketimbang kepiawaian fotografis (atau “estetika gambar”). Ia menceritakan si pemeran Glenn yang memang sangat “seram” waktu pertama jumpa – dan tak kenal sama sekali pada Deddy Mizwar. “Kalau kamu lihat tadi, ada adegan mandi si Glenn itu gemetar kedinginan, memang dia gemetar betulan, biasanya kagak pernah mandi,” kata Deddy tertawa.
Realisme itu menjadi sebuah pengimbang dari naskah yang bersifat parodi, serba mengarikaturkan. Kelemahan terbesar naskah ini adalah keluguan Muluk, bahwa “kalau lu nyari duit dengan halal, maka nggak ada alasan mereka menangkap lu.” Tapi, jelas, di sini Deddy dan Musfar sedang menerapkan semacam litentia poetica – ketika pakem ataupun keharusan bisa dibengkokkan demi sampainya maksud cerita.
“Mungkin saya sudah tua, ya. Buat orang seusia saya, masalah cinta-cintaan antara lawan jenis itu sudah nggak penting lagi,” kata Deddy Mizwar ketika Rumahfilm.org bertanya kenapa dalam film-filmnya nyaris selalu ada lagu kebangsaan. “Buat saya, sekarang, yang penting adalah kecintaan pada bangsa ini,” lanjut Deddy. Klise? Khutbah? Tapi, jika dijajarkan dengan para sineas kita yang lain, yang kini aktif, bisa jadi mengucap klise demikian adalah keberanian tersendiri. Memang, bukankah sedikit sekali sineas kita sesudah era Reformasi yang secara konsisten bicara tentang korupsi dan bangsa?
Dan dengan berani film ini ditutup oleh pertanyaan. Dengan berani, akhir film bukanlah kesimpulan yang menyenangkan atau membuai. Dengan berani film ini tidak berhenti pada harapan kosong.
Dalam ending film yang boleh jadi salah satu yang terbaik dalam sejarah film nasional –setidaknya sesudah reformasi ini– film ini seolah “berteriak”. Ending itu melibatkan 400 orang pemain, dikoreografi dalam rangkaian adegan yang bersambungan antara serangkai adegan yang diiringi lagu Balada Sejuta Wajah (Achmad Albar & Ian Antono), disambung rangkaian adegan yang diiringi lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Banyak yang terjadi di situ.
Harapan-harapan terbanting. Orang baik tak selamanya mendapat ganjaran baik. Agama belum terlihat mampu memberi jawaban jitu. Amanat Undang-Undang Dasar belum terlaksana. Dan justru dengan menyajikan kenyataan-kenyataan getir itu, film ini tak melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak pasif, tidak pula “aktif lari” seperti ungkapan Woody Allen di atas. Ia mencari jalan lain: ia aktif bertanya, dan aktif menjebloskan kita pada pertanyaan-pertanyaan itu.
Film ini bertanya, berteriak, mengkritik, tanpa bungkus pikiran-pikiran njelimet atau fashionable, dan justru karena itu film ini mengajukan sikap: ia tak mau meninggalkan Indonesia.
*Diunduh dari http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_alni_1.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar