Fenomena mudik yang demikian rupa
dipublikasikan di berbagai media massa, sampai tidak jarang banyak menelan
jiwa. Namun tidak menyurutkan langkah para pemudik untuk pulang ke kampungnya.
Di terminal, pelabuhan, stasion dan bandara selalu nampak membludaknya orang
seakan-akan mudik merupakan bagian dari kewajiban di bulan puasa.
Perayaan lebaran yang ditandai tradisi mudik
merupakan puncak pengalaman sosial keagamaan yang khas masyarakat muslim
Indonesia. Di dunia arab sendiri sebagai tempat lahirnya agama Islam, tradisi
Idul Fitri tidak disambut dengan gegap gempita seperti layaknya di Indonesia.
Malahan yang menjadi hari raya terbesar bagi bangsa Arab adalah lebaran haji,
Idul Adha.
Itulah kenapa seorang antropolog asal Swedia,
Andre Moller menyatakan bahwa “puasa di Jawa bisa disebut sebuah “ritus
induk” dan di bawahnya terdapat macam-macam sub ritus
yang kesemuanya terikat secara erat dengan Ramadhan”. “dan
ibadah sunat lebih digemari dari pada ibadah wajib di luar bulan Ramadhan”. Dengan
semangat yang sama, Clifford Geetrz menyatakan lebaran merupakan puncak
ritual yang menasional. Melalui lebaran
integritas dibangun : yang jauh didekatkan, yang putus di sambung, yang berbeda
diharmoniskan, yang terpisah dipertemukan dan yang rusak diperbaiki.
Dari ungkapan di atas, kita melihat bagaimana
Islam diterjemahkan tidak dalam ruang kosong, dihadapkan dalam realitas budaya
lokal akan mengalami pola yang berbeda dan akan terjadi akulturasi budaya tanpa
merubah hukum itu sendiri. Nampak jelas dari penggunaan bahasa dalam penyebutan
idul fitri dikenal dengan sebutan lebaran, sholat lebih popoler dengan
sembahyang dan ustad lebih enak dipanggil kyai atau tuan guru.
Budaya lebaran di Indonesia merupakan
menifestasi dari ajaran Islam Lokal. Lebaran yang dibungkus dalam tradisi
mudik, silaturrahmi, mendatangi leluhur yang sudah meninggal dan halal bi halal
adalah bentuk penerjemahan dari ajaran Islam model Indonesia.
Karena itulah bagi muslim Indonesia Idul fitri
yang berarti kembali dimaknai dengan mudik yang sama-sama berarti kembali.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mudik diartikan sebagai pulang kembali ke
kampung halamannya.
Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi
al-Qur'an, Idul fitri yang berasal dari kata a'da yang berarti kembali, Kembali dari apa? Kembali kepada fitri.
Fitri berarti keadaan yang mula-mula diciptakan Allah.
Idul fitri pada hakikatnya adalah akhir dari
perjalanan berupa bulan puasa atau Ramadhan. Puasa yang indentik dengan menahan
lapar dan dahaga adalah simbol untuk menunjukkan kebersamaan, kepedulian,
keprihatinan dan tanggung jawab seorang
muslim akan umat manusia, baik muslim maupun non muslim lainnya yang tiap
harinya kelaparan dan kehausan. Sehingga di Idul Fitri, umat muslim merayakan
kemenangan setelah satu bulan lamanya,
untuk bersuka cita sesama umat manusia dalam satu kepedulian, tanggung
jawab serta adanya rasa berderajat dan berkedududukan yang sama dihadapan Allah
seperti baru dilahirkan atau diciptakan kembali.
Sementara mudik yang berarti kembali, bagi para
pemudik seperti didorong-dorong sedemikian kuatnya untuk meninggalakan tanah
perantauan dan kembali ke halaman kampunya. Seolah-olah ada suara panggilan
yang memberikan sinyal bahwa mereka memiliki tanah kelahiran, sanak saudara
yang sedang menunggu dan sejarah masa lalu.
Mudik lebaran tak ubanya pulang pada kampung
rohani dan jiwa sendiri, dan hari raya
kemenangan umat manusia melawan nafsunya sendiri. Dengan demikian
lebaran yang berarti hari raya laksana bercermin dalam ruang dan waktu, kembali
pada masa lalu demi menemukan akan masa depan yang terbungkus dalam kesadaran
akan kefitrahan manusia.
Simbol
Kekerabatan
Begitu berat beban untuk mudik lebaran,
tranportsi sulit dan mahal. Pemudik bukan hanya menyiapkan biaya untuk mudik,
namun untuk berlebaran sendiri, menyenangkan sanak saudara. Karena itu,
walaupun mudik menyulitkan tapi juga menyenangkan sekaligus.
Yang menarik adalah apa makna sosial yang
penting dalam mudik lebaran?. Melihat kadar sosial dari mudik lebaran, yang
begitu terasa adalah masih kuatnya ikatan kekrabatan antar sesama warga
masyarakat Indonesia. Rasa kekrabatan inilah yang mengharuskan warga urban atau
para perantau untuk kembali ke kampungnya, sekurangnya satu tahun sekali, dan
momen yang paling pas adalah di waktu lebaran tiba.
Di saat lebaran tiba, sanak saudara dan teman
yang merantau bertebaran di berbagai
kota besar, berkumpul dan berkunjung atau pulang sementara ke kampung
halamannya yang memiliki kaitan sosial dengan kampungnya. Pola jalinan sosial
yang mengakar di kampung halaman menyapanya untuk kembali dalam sebuah
kebersamaan dan kekerabatan yang masih kokoh. Jadi peristiwa maaf-maafan,
silaturrahmi dan saling ketemu menjadi penting dalam labaran.
Hal ini yang membedakan dengan kehidupan di
perantauan atau kota. Di mana kehidupan kota penuh persaingan, rasa
individualisme sangat tinggi―pada tetengganyapun sampai tidak mengenalnya―berlomba-lomba
memperoleh materi dan kesenangan. Dengan
kehidupan kota yang tidak bisa memberi aman pada “jiwa”,
maka kerinduan akan kebersamaan dan
kekerabatan akan kampung halamannya tidak bisa terelakkan sebagai kebutuhan
manusia.
Di sisi lain, tradisi yang tidak bisa
ditinggalkan dari lebaran adalah ziarah ke kubur, mengunjungi keluarga atau
leluhur yang sudah tiada. Ziarah ke kubur sebagai bentuk persambungan sejarah,
asal muasal diri bahwa hidup di awali dari keluarga yang meninggal dengan
menunjukkan silsilah dan hubungan kekeluargaan. Manusia tidak bisa dilepaskan
dari hubungan dan silsilah dan menghayati
perjalanan waktu dalam wujud yang utuh di antara tiga dimensi, masa lalu,
sekarang dan yang akan datang.
Maka dengan menziarah kubur yang memiliki
hubungan silsilah dengan keluarganya
akan memberikan pemahaman bagaimana jalinan keluarga terdekat yang dapat
memperkuat ikatan kekeluargaan tidak hanya melibatkan orang yang masih hidup
namun juga mengikut sertakan mereka yang
tidak nampak, meninggal.
Dari peristiwa lebaran dan mudik, bagaimana
masyarakat tradisional tidak ingin tercerabut dari akar budaya sendiri yang
membentuk mindset dan prilaku kesehariannya. Meskipun penghayatan akan
tradisnya berbeda di masing-masing daerang, namun pada prisipnya sama, yaitu
kebutuhan manusia akan kekerabatan dan kebersamaan tidak bisa ditutupi dalam
kehidupan kota yang “asing”.
Pada akhirnya, kita dapat memetik intisari
makna sosial dari laku lebaran dan
mudik, yaitu peleburan manusia dalam satu ikatan kemanusiaan yang kokoh yang
terwadahi dalam rumusan kebersamaan dan kekerabtan untuk saling peduli, empati,
dan menghargai perbedaan budaya, ras, gender, suku, bangsa bahkan agama tanpa
ada superioritas atas manusia lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar