Senin, 31 Oktober 2011

Makna sosial lebaran dan Mudik


Fenomena mudik yang demikian rupa dipublikasikan di berbagai media massa, sampai tidak jarang banyak menelan jiwa. Namun tidak menyurutkan langkah para pemudik untuk pulang ke kampungnya. Di terminal, pelabuhan, stasion dan bandara selalu nampak membludaknya orang seakan-akan mudik merupakan bagian dari kewajiban di bulan puasa.
Perayaan lebaran yang ditandai tradisi mudik merupakan puncak pengalaman sosial keagamaan yang khas masyarakat muslim Indonesia. Di dunia arab sendiri sebagai tempat lahirnya agama Islam, tradisi Idul Fitri tidak disambut dengan gegap gempita seperti layaknya di Indonesia. Malahan yang menjadi hari raya terbesar bagi bangsa Arab adalah lebaran haji, Idul Adha.
Itulah kenapa seorang antropolog asal Swedia, Andre Moller menyatakan bahwa puasa di Jawa bisa disebut sebuah ritus induk dan di bawahnya terdapat macam-macam sub ritus yang kesemuanya terikat secara erat dengan Ramadhan. dan ibadah sunat lebih digemari dari pada ibadah wajib di luar bulan Ramadhan. Dengan semangat yang sama, Clifford Geetrz menyatakan lebaran merupakan puncak ritual  yang menasional. Melalui lebaran integritas dibangun : yang jauh didekatkan, yang putus di sambung, yang berbeda diharmoniskan, yang terpisah dipertemukan dan yang rusak diperbaiki.
Dari ungkapan di atas, kita melihat bagaimana Islam diterjemahkan tidak dalam ruang kosong, dihadapkan dalam realitas budaya lokal akan mengalami pola yang berbeda dan akan terjadi akulturasi budaya tanpa merubah hukum itu sendiri. Nampak jelas dari penggunaan bahasa dalam penyebutan idul fitri dikenal dengan sebutan lebaran, sholat lebih popoler dengan sembahyang dan ustad lebih enak dipanggil kyai atau tuan guru.
Budaya lebaran di Indonesia merupakan menifestasi dari ajaran Islam Lokal. Lebaran yang dibungkus dalam tradisi mudik, silaturrahmi, mendatangi leluhur yang sudah meninggal dan halal bi halal adalah bentuk penerjemahan dari ajaran Islam model Indonesia.
Karena itulah bagi muslim Indonesia Idul fitri yang berarti kembali dimaknai dengan mudik yang sama-sama berarti kembali. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mudik diartikan sebagai pulang kembali ke kampung halamannya.
Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur'an, Idul fitri yang berasal dari kata a'da yang berarti kembali, Kembali dari apa? Kembali kepada fitri. Fitri berarti keadaan yang mula-mula diciptakan Allah.
Idul fitri pada hakikatnya adalah akhir dari perjalanan berupa bulan puasa atau Ramadhan. Puasa yang indentik dengan menahan lapar dan dahaga adalah simbol untuk menunjukkan kebersamaan, kepedulian, keprihatinan dan tanggung jawab  seorang muslim akan umat manusia, baik muslim maupun non muslim lainnya yang tiap harinya kelaparan dan kehausan. Sehingga di Idul Fitri, umat muslim merayakan kemenangan setelah satu bulan lamanya,  untuk bersuka cita sesama umat manusia dalam satu kepedulian, tanggung jawab serta adanya rasa berderajat dan berkedududukan yang sama dihadapan Allah seperti baru dilahirkan atau diciptakan kembali.
Sementara mudik yang berarti kembali, bagi para pemudik seperti didorong-dorong sedemikian kuatnya untuk meninggalakan tanah perantauan dan kembali ke halaman kampunya. Seolah-olah ada suara panggilan yang memberikan sinyal bahwa mereka memiliki tanah kelahiran, sanak saudara yang sedang menunggu dan sejarah masa lalu.
Mudik lebaran tak ubanya pulang pada kampung rohani dan jiwa sendiri, dan hari raya   kemenangan umat manusia melawan nafsunya sendiri. Dengan demikian lebaran yang berarti hari raya laksana bercermin dalam ruang dan waktu, kembali pada masa lalu demi menemukan akan masa depan yang terbungkus dalam kesadaran akan kefitrahan manusia.
Simbol Kekerabatan   
Begitu berat beban untuk mudik lebaran, tranportsi sulit dan mahal. Pemudik bukan hanya menyiapkan biaya untuk mudik, namun untuk berlebaran sendiri, menyenangkan sanak saudara. Karena itu, walaupun mudik menyulitkan tapi juga menyenangkan sekaligus.
Yang menarik adalah apa makna sosial yang penting dalam mudik lebaran?. Melihat kadar sosial dari mudik lebaran, yang begitu terasa adalah masih kuatnya ikatan kekrabatan antar sesama warga masyarakat Indonesia. Rasa kekrabatan inilah yang mengharuskan warga urban atau para perantau untuk kembali ke kampungnya, sekurangnya satu tahun sekali, dan momen yang paling pas adalah di waktu lebaran tiba.
Di saat lebaran tiba, sanak saudara dan teman yang merantau bertebaran di  berbagai kota besar, berkumpul dan berkunjung atau pulang sementara ke kampung halamannya yang memiliki kaitan sosial dengan kampungnya. Pola jalinan sosial yang mengakar di kampung halaman menyapanya untuk kembali dalam sebuah kebersamaan dan kekerabatan yang masih kokoh. Jadi peristiwa maaf-maafan, silaturrahmi dan saling ketemu menjadi penting dalam labaran.
Hal ini yang membedakan dengan kehidupan di perantauan atau kota. Di mana kehidupan kota penuh persaingan, rasa individualisme sangat tinggipada tetengganyapun sampai tidak mengenalnyaberlomba-lomba memperoleh materi  dan kesenangan. Dengan kehidupan kota yang tidak bisa memberi aman pada jiwa, maka  kerinduan akan kebersamaan dan kekerabatan akan kampung halamannya tidak bisa terelakkan sebagai kebutuhan manusia. 
Di sisi lain, tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dari lebaran adalah ziarah ke kubur, mengunjungi keluarga atau leluhur yang sudah tiada. Ziarah ke kubur sebagai bentuk persambungan sejarah, asal muasal diri bahwa hidup di awali dari keluarga yang meninggal dengan menunjukkan silsilah dan hubungan kekeluargaan. Manusia tidak bisa dilepaskan dari  hubungan dan silsilah dan menghayati perjalanan waktu dalam wujud yang utuh di antara tiga dimensi, masa lalu, sekarang dan yang akan datang. 
Maka dengan menziarah kubur yang memiliki hubungan silsilah dengan keluarganya   akan memberikan pemahaman bagaimana jalinan keluarga terdekat yang dapat memperkuat ikatan kekeluargaan tidak hanya melibatkan orang yang masih hidup namun  juga mengikut sertakan mereka yang tidak nampak, meninggal.
Dari peristiwa lebaran dan mudik, bagaimana masyarakat tradisional tidak ingin tercerabut dari akar budaya sendiri yang membentuk mindset dan prilaku kesehariannya. Meskipun penghayatan akan tradisnya berbeda di masing-masing daerang, namun pada prisipnya sama, yaitu kebutuhan manusia akan kekerabatan dan kebersamaan tidak bisa ditutupi dalam kehidupan kota yang asing.
Pada akhirnya, kita dapat memetik intisari makna sosial dari laku lebaran dan mudik, yaitu peleburan manusia dalam satu ikatan kemanusiaan yang kokoh yang terwadahi dalam rumusan kebersamaan dan kekerabtan untuk saling peduli, empati, dan menghargai perbedaan budaya, ras, gender, suku, bangsa bahkan agama tanpa ada superioritas atas manusia lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar